Rabu, 04 Juni 2014

Kode Etik Ikatan Penasehat Hukum Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Penasihat Hukum adalah mereka yang memberikan bantuan atau nasihat hukum, baik dengan bergabung atau tidak dalam suatu persekutuan Penasihat Hukum, baik sebagai mata pencaharian atau tidak, yang disebut sebagai Pengacara/Advokat dan Pengacara Praktek (Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: KMA/05/SKB/VII/1987; Nomor: M.03-PR.08.05 Tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum).

Pada dasarnya tugas pokok penasehat hukum (Advokat dan Pengacara praktek) adalah untuk memberikan legal opinion serta nasehat hukum sebagai upaya pencegahan konflik dan pembelaan di sidang pengadilan. Pemberian bantuan hukum dalam proses berperkara di pengadilan dipandang perlu karena dapat memudahkan dan memperlancar jalannya persidangan. Hal ini sesuai dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pekerjaan pemberian bantuan hukum, jika dicermati secara mendalam, dapat dikaji dari dua sisi, yaitu : sisi subyektif dan sisi obyektif.  Sisi subyektif, karena pekerjaan pemberian bantuan hukum bertolak dari kepentingan seseorang yang akan atau sedang beracara di pengadilan, karena orang itu dianggap memerlukannya. Sedangkan sisi obyektif, karena pekerjaan itu (pemberian bantuan hukum) bertujuan untuk terselenggaranya peradilan yang jujur, adil dan adanya kepastian hukum. Perbedaan kedua sisi ini dapat mempengaruhi posisi seorang penasehat hukum. Sisi pertama seorang penasehat hukum akan berperan sebagai pembela kepentingan kliennya, dan yang kedua seorang penasehat hukum akan berperan sebagai penengah, agar dalam berperkara yang ia tangani, keadilan dapat diwujudkan secara nyata sesuia hukum acara yang berlaku.

Bagi penasehat hukum yang berpandangan subyektif maka, ia akan berusaha sevara maksimal dengan berbagai dalil (argumentasi) untuk memenangkan kliennya tanpa memperdulikan banar atau salah, meskipun batinnya mengetahui bahwa sesungguhnya kliennya bersalah. Dalam upaya seperti ini seorang penasehat hukum akan berusaha menutupi kesalahan-kesalahan atau kelemahan-kelemahan kliennya agart tidak diketahui oleh lawannya, demikiam pula sebaliknya. Mereka bertarung untuk saling memenangkan perkara. Berbeda halnya dengan pandangan obyektif, seorang penasehat hukum yang berpandangan demikian akan berpegang teguh pada prinsip bahwa kebenaran dan keadilan berdasar hukum harus ditegakkan dalam mproses peradilan terhadap perkara yang ia kaan tangani. Yang ia bela bukan orangnya, tetapi kebenran dan keadilan.

Bagi seorang penasehat hukum yang berpandangan obyektif, setelah ia mempelajari seluruh berkas perkara. Ia akan berkonsultasi dengan kliennya tentang persoalan yang sesungguhnya terjadi. Dari berbagai keterangan yang ia peroleh dari kliennya, baik yang menyangkut obyek sengketa, ala-alat bukti, berbagai kekurangan dan kelemahan dan sampai pada dampak yang akan terjadi jika masalah tersebut diproses secara hukum. Kesemuanya ia sampaikan secara obyektif kepada kliennya. Tujuannya adalah agar kliennya dapat mengetahui dan memahami posisi kasus tersebut secara banar dan tepat. Dan dalam persidangan nanti jika kliennya benar (menang) atau salah (kalah) maka harus diterimanya secara obyektif pula. Dengan sikap dan pendekatan sedemikian seorang penasehat hukum benar-benar telah meminimalisir, bahkan mencegah terjadinya konflik. Dan sikap demikianlah yang harus dipegang teguh oleh para penasehat hukum.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan kode etik, etika dan profesi?
2.      Bagaimanakah kode etik Ikatan Penasehat Hukum Indonesia?
3.      Bagaimanakah sanksi terhadapa pelanggaran kode etik Ikatan Penasehat Hukum Indonesia?

C.    Tujuan
1.      Untuk  menegetahui pengertian dari kode etik, etika dan Profesi
2.      Untuk  mengetahui kode etik Ikatan Penasehat Hukum Indonesia
3.      Untuk mengetahui sanksi terhadap pelanggaran kode etik Ikatan Penasehat Hukum Indonesia.

D.    Manfaat
Dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam ilmu hukum khususnya mengenai etika dan tanggung jawab profesi hukum.



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Kode Etik, Etika dam Profesi
Dalam kamus besar bahas Indonesia, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasdsan tingkah laku. Sedangkan kata etik (bahasa Yunani) memiliki kesamaan denga arti kata moral (bahasa latin), yaitu adat istiadat mengenai baik buruk suatu perbuatan.
Menurut Verkuyl, perkatan etik berasal dari kata “ethos” yang melahirkan kata kata ethika. Perkataan ethos dapat diartikan sebagai kesusilaan, perasaan batin atau kecenderungan hati seseorang untuk berbuat kebaikan. Dalam istilah latin ethos atau ethikos selalu disebut dengan mos sehingga dari perkataan tersebuut lahirlah moralitas atau yang sering diistilahkan dengan perkataan moral.
Hamzah Ya’kub dalam bukunya Etika Islam merumuskan sebagai berikut: Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui akal pikiran.
Selanjutnya menurut Hamzah Ya’kub, Etika merupakan bagian dari akhlak, karena ahlak memiliki makna yang luas yaitu disamping mengatur hubungan antara sesama manusia juga mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT yang meliputi maslah aqidah dan ibadah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang yang berakhlak maka secara otomatis ia memiliki etika namun seseorang yang beretika belum tentu ia berakhlak.
Adapun “profesi” merupakan salah satu istilah yang kini dapat digunakan untuk semua jenis pekerjaan, dengan sebuah asumsi bahwa apa yang dilakukan seseorang itu melekat, setidak-tidaknya yang paling sering dilakukan dan menjadi keahliannya.
Menurut Arief Sidharta, profesi diartikan sebagai setiap pekerjaan untuk memperoleh uang. Dalam ari yang lebih tekhis, profesi diartikan sebagi pekerjaan tetap tertentu untuk memperoleh nafkah dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan denga cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi dengan menerima bayaran yang tinggi. Keahlian tersebut diperoleh melalui pengalamana, belajar pada lembaga pendidikan tinggi tertentu, latihan secara intensif atau kombinasi dari kesemuanya itu.
Pengertian profesi tersebut jika diperinci unsur-unsurnya meliputi :
a)      Suatu kegitan yang berlangsung secara kontinuitas.
b)      Pekerjaan tersebut diorientasikan untuk mendapatkan uang atau imbalan tertentu dari pihak lain.
c)      Pekerjaan tersebut dilakukan atas dasar keahlian.
d)     Pekerjaan tersebut diperoleh melalui suatu lembaga pendidikan tinggi atau suatu lembaga pendidikan kejuruan dan melalui pelatihan secar intensif.
Menurut E. Sumaryono, sebuah profesi terdiri dari kelompok terbatas dari orang-orang yang memiliki keahlian khusus dandengan keahliaan itu mereka dapat berfungsi di dalam masyarakat dengan lebih baik bila dibandingkan dengan warga masyarakat lain pada umumny. Atau, dalam pengertian lainnya, sebuah profesi adalah sebuah sebutan jabatan dimana orang yang menyandangnya mempunyai pengetahuan khusus yang diperolehnya melalui training atau pengalaman lain, atau bahkan diperoleh melalui keduanya, sehingga penyandangan profesi dapat membimbing atau memberi nasehat/saran atau juga melayani orang lain dalam bidangnya.
Sedangkan menurut Imanudin Abdurrahim suatu profesionalisme harus dipahami sebagai kualitas dengan karakteristik berikut :
1.      Punya keterampilan tinggi dalam suatu bidang dan kemahiran.
2.      Punya ilmu, penglaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatuy masalah, peka membaca situasi dan cermat dalam mengambil keputusan terbaik.
3.      Punya sikap dan orientasi ke masa depan tentang apa yang akan terjadi.
4.      Punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan atas kemampuannya.
Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa profesi atau profesinalisme mensyaratkan adanya suatu keahlian, ketrampilan tinggi, wawasan ke depan, memiliki ketegasan sikap, mandiri dalam pengambilan keputusan (tanpa tekanan) serta dibarengi sifat keikhlasan.

B.     Kode Etik Ikatan Penasehat Hukum Indonesia
Sesuai Keputusan Musyawarah Nasional I Ikatan Penasehat Hukum Indonesia Nomor II/ MUNAS- I/XI/1998, setidaknya ada tiga pasal menyangkut kode etik penasehat hukum, yaitu pasal 3, 4 dan 5. dalam pasal 3 dijelaskan sebagai berikut :
1.      Anggota Ikatan Penasehat Hukum Indonesia lebih mengutamakan pengabdiannya kepada masyarakat dari pada kepentingan diri sendiri dan golongan.
2.      Anggota Ikatan Penasehat Hukum Indonesia berusaha untuk bersikap adil serta menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
3.      Anggita Ikatan Penasehat Hukum Indonesia dalam menjalankan tugasnya rela berkorban demi kepentingan masyarakat yang dibela menurut keyakinannya serta mengandung hukum adat.
4.      Anggota Ikatan Penasehat Hukum Indonesia dalam membela suatu perkara bebas dari rasa takut dan mengutamakan kepentingan kliennya dari pada kepentingan pribadi.
5.      Anggota Ikatan Penasehat Hukum Indonesia dalam kehidupan sehari-hari sebagi warga masyarakat bersikap sopan dan bertingkah laku saling hormat menghormati sesama warga masyarakat lainnya.
6.      Anggota Ikatan Penasehat Hukum Indonesia dalam sikap dan tindak tanduknya menunjukkan rasa hormat kepada masyarakat, pejabat-pejabat pemegang kekuasaan umum dan kekuasaan kehakiman.
Dalam pasal 4 dijelaskan tentang tridharma profesi penasehat hukum: kebenaran, keadilan dan kemanusian. Tridharma ini meliputi :
1.      Anggota Ikatan Pensehat Hukum Indonesia dalam melakukan dharma profesinya berpegang teguh pada keyakinan akan kebenaran hukum yang tercantum dalam undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku
2.      Anggota Ikatan Pensehat Hukum Indonesia dalam membela perkara kliennya maupun pihak lain, sekalipun menghadapi massa, golongan yang berpengaruh, atau otorita penguasa, dantidak takut kepada siapa dan apapun, kecuali terhadap hukum dan kebenaran yang dicintai
3.      Anggota Ikatan Pensehat Hukum Indonesia berpegang teguh kepada rasa keadilan dalam menegakkan dan menjamin kepastian hukum.
4.      Anggota Ikatan Pensehat Hukum Indonesia berpegang teguh kepada rasa kemanusiaan yang adil dan beradab dengan mengakui adanya persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia
5.      Anggota Ikatan Pensehat Hukum Indonesia berani membela kebenaran, keadilan dan kemanusiaan di dalam menjalankan profesinya.
6.      Anggota Ikatan Pensehat Hukum Indonesia dalam memperhitungkan imbalan terhadap jasa yang diberikan, dengan mengingaty segi kelayakan dan kemanusiaan
Selanjutnya dalam pasal 5 dijelaskan tentang  kejujuran, tanggung jawab dan dapat dipercaya, yang meliputi :
1.      Anggota Ikatan Pensehat Hukum Indonesia bersikap jujur terhadap orang lain dan atau anggota masyarakat pencari keadailan yang memerlukan bantuan hukum.
2.      Anggota Ikatan Pensehat Hukum Indonesia tidak akan memberi janji dan menjanjikan kepada anggota masyarakat yang minta bantuan pembelaan hukum terhadap hal-hal yang menurut keyakinannya tidak mungkin dilaksanakan berdasarkan hukum.
3.      Anggota Ikatan Pensehat Hukum Indonesia memegang teguh rahasi profesinya dan rahasia jabatan dalam segala hal yang sudah dipercayakan kepadanya.
4.      Anggota Ikatan Pensehat Hukum Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab menjalankan tugas profesinya baik terhadap  pemerintah maupun anggota masyarakat yang memerlukan bantuan hukum.
5.      Anggota Ikatan Pensehat Hukum Indonesia dalam melakukan tugas profesinya menghormati martabat negara, pemerintah serta menghormati wibawa peradilan
6.      Anggota Ikatan Pensehat Hukum Indonesia bersikap jujur terhadap kliennya dan tidak menggambarkan atau menjanjikan harapan kosong yang belum pasti.
Menurut E. Sumaryono, kode etik profesi itu perlu ditulis, pertama ; kode etik penting sebagai sarana kontrol sosial. Kode etik memberikan semacam kriteria bagi calaon anggota kelompok profesi (demikian juga terhadap calon baru) dan membentu mempertahankan pandangan para anggota lama terhadap profesional yang telah digariskan. Kedua ; kode etik profesi mencegah pengawasan atau campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat melalui beberapa agen atau pelaksanaannya. Dan ketiga ; kode etik adalah penting untuk pengembangan patokan kehendak yang lebih tinggi.
Apa yang diuraikan di atas adalah fungsi profesi secara umum, khusus profesi seorang penasehat hukum hendaknya memahami dan menyadari bahha fungsi kode etik adalah sebagai sarana atau sebagai petunjuk dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat. Secara subyektif dapat dikatakan bahwa seorang penasehat hukum dalam menjalankan tugasnya diperhadapkan kepada berbagai tantangan dan godaan yang cukup berat, yang terkadang dapat menyeretnya dari tujujan yang sebenarnya, yaitu penegakan hukum dan keadilan. Oleh karena itu fungsi kode etik profesi menjadi penting bagi seorang penasehat hukum agar ia tetap berada dalam tujuan yang sebenarnya.
Selanjutnya seorang penasehat hukum harus komitmen dan konsisten terhadap nilai-nilai moral yang terkandung di dalam kode etik profesi, yaitu tidak dipengaruhi oleh penguasa atau pengaruh-pengaruh yang bersifat material.
Profesi penasehat hukum merupakan suatu tugas yang sangat mulia (sesuai kode etik dan doktrin Penasehat Hukum Indonesia), jika dianalisis kode etik dan doktrin penasehat hukum tersebut, sarat dengan muatan-muatan moral. Sebab pada dasarnya tugas utama seorang penasehat hukum adalah berupaya secara maksimal untuk memberikan pelayanan hukum kepada para pencari keadilan dengan tidak membeda-bedakan status sosial yang disandang oleh seseorang, juga tidak mengharapkan imbalan kecuali atas pertimbangan kemanusian, serta tidak takut terhadap siapapun termasuk penguasa sekalipun, sepanjang yang dilakukan atas dasar kebenaran, keadilan dan rasa kemanusiaan.
Menurut Frans Magnis Suseno dkk, adatiga ciri kepribadian moral yang dituntut dari para penyandang atau pemegang profesi luhur ini, yaitu ;
1.      Berani berbuat denga tekad untuk memenuhi tuntutan profesi
2.      Sadar akan kewajiban yang harus dipenuhi selam menjalankan tugas profesinya.
3.      Memiliki idealisme sebagi perwujudan makna “ mission statement”, masing-masing organisasi profesinya.
Sebagai upaya memenuhi tuntutan moral, dan perwujudan dari sebuah profesi, maka seorang penasehat hukum harus mampu mengatasi setipa tantangan yang dihadapi dengan pertimbangan bahwa : Pertama ; profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagi suatu pelayanan, oleh karena itu sifat tanpa pamrih menjadi ciri khas dalam pengembang profesi. Kedua ; kepentingan sikap dan tindakan. Ketiga; pengemban profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat secara keseluruhan. Keempat; agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat, sehingga dapat menjamin seta meningkatkan mutu profesi.
Kode etik ini dimaksudkan sebagai sarana kontrol moral atau semacam pengawasan perilaku yang sanksinya lebih dikonsentrasikan secara psikologis dan kelembagaan. Pelaku profesi yang melanggar, selain dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis (sesuai kode etik profesi) juga dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada masyarakat.
Oleh karena itu, kode etik profesi menuntun terbentuknya integritas moral yang kuat di kalangan pengemban profesi, dengan integritas moral yang kuat ini diharapkan kompleksitas dan akumulasi tantangan dapat dijawab tanpa perlu merusak citra kelembagaan.
Kode etik profesi itu menjadi acuan agar masing-masing anggota profesi tetap bermartabat dan menjalankan tugas profesinya. Suatu profesi, khususnya profesi penasehat hukum apabila tidak dilandasi oleh nilai-nilai moral yang terkandung dalam kode etik profesi akan melahirkan individu-individu yang mengahalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

C.    Sanksi Terhadap Pelanggaran Kode Etik Ikiatan Penasehat Hukum Indonesia
Salah satu hal yang terpenting dalam sebuah adanya profesi, yaitu terdapatnya sanksi yang di atur secara jelas yang terdapat dalam kode etik Tersebut. Khusus mengenai Kode Etik  Ikatan Penasehat Hukum Indonesia yang di atur  dalam pasal 8 yang menyatakan bahwa : sanksi atau hukuman terhadap Anggota Ikatan Penasehat Hukum Indonesia yang terbukti melakukan planggaran Kode Etik Ikatan Penasehat Hukum Indonesia seperti yang di atur dalam Bab 1, dapat berupa :
a).  Teguran,
b).  Peringatan,
c).  Peringatan keras,
d).  Pemberhentian sementara dari keanggotaan dengan batas waktu,
e).  Pemberhentian sementara dari keanggotaan tanpa batas waktu,
f).  Pemberhentian dari keanggotaan.

Sesuai dengan ketenuan pasal 8 yang diatas, dalam pasal 9 menyatakan bahwa : sanksi-sanksi yan disebut dalam pasal 8 di atas, diberikan kepada pelanggar secara tertulis oleh Dewan Pimpinan Pusat/Daerah/Cabang berdasarkan keputusan Dewan Kehormatan/Majelis Kehormatan tinggi Pusat/Daerah/Cabang, dan dapat diajukan pembelaan diri/  keberatan aas putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan diterima oleh yang bersangkutan.

Dalam pasal 10 menyebutkan terhadap Putusan Dewan Kehormatan seperti yang di maksud dalam  pasal 9 dapat di ajukan banding secara hierarki oleh para pihak yang berkepentingan, dan Putusan Dewan Kehormatan tingkat Pusat adalah Putusan tingkat akhir serta mempunyai kekuatan mengikat.

Mengenai tentang tata cara penyampaian laporan/pengaduan atas dugaan pelanggaran Kode Etik, penggunaan hak pembelaan diri, klasifikasi berat ringannya pelanggaran dan jenis sanksi,  tata cara penyelesaian / proses pemeriksaan pelanggaran oleh Dewan Kehormatan / Majelis Dewan Kehormatan dan hal-hal lainnya yang menyangkut pelanggaran Kode Etik Profesi, ditetapkan dalam Peraturan Organisasi, yang terdapat dalam pasal 12 Bab III.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesumpulan
1.      Kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasdsan tingkah laku. Etika adalah kumpulan azas-azas atau nilai-nilai yang berkenaan dengan akhlak atau moral. Sedangkan profesi adalah pekerjaan tetap tertentu untuk memperoleh nafkah dilaksanakan secara berkeahlian yang berkaitan denga cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi dengan menerima bayaran yang tinggi.
2.      Kode etik Ikatan Penasehat Hukum Indonesia tersirat dalam Keputusan Musyawarah Nasional I Ikatan Penasehat Hukum Indonesia Nomor II/ MUNAS- I/XI/1998, setidaknya ada tiga pasal menyangkut kode etik penasehat hukum, yaitu pasal 3, 4 dan 5. dalam pasal 3.
3.      Sanksi terhadap pelanggaran kode etik Ikatan Penasehat Hukum Indonesia Berupa :
-   Teguran,
-   Peringatan,
-   Peringatan keras,
-   Pemberhentian sementara dari keanggotaan dengan batas waktu,
-   Pemberhentian sementara dari keanggotaan tanpa batas waktu,
-   Pemberhentian dari keanggotaan,

B.     Saran

Dari uraian di atas, tampak bahwa tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh seorang penasehat hukum adalah sangat mulia. Karena itu, profesi ini harus dilakoni sesuai dengan kode etik yang telah ditetapkan. Selain itu, dalam hal memberikan bantuan hukum tetap momitmen dan konsisten dalam upaya penegakan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid, Anang Sulistiono. 1997. Etika Profesi Hukum dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum di Indonesia; Panduan bagi Penasehat Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi dan Mahasiswa Fakultas Hukum. Bandung: Tarsito.

Kanter. E. Y. 2001. Etika Profesi Hukum; Sebuah Pendekatan Sosio-Religius. Jakarta: Storia Grafika.

K. Lubis, Suharawardi. 2000. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Remaja Rosdakarya.

Supriadi, SH., M.Hum. 2010. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Sumaryono, E. 1995.  Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi Penegak Hukum. Yogyakarta: Kanisius.

Kamis, 23 Januari 2014

HAKI MEREK

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Banyak  hal yang didapatkan dari merek-merek terkenal terutama dalam hal ekonomi. Keuntungan dalam bentuk materi akan mudah didapatkan dengan cara yang instan. Dimana pada saat ini bayak sekali kasus yang numpang / nebeng dengan merek terkenal agar dapat mendongkrak keuntungan dan poularitas sebuah merek yang kurang mendapat perhatian dari konsumen. Banyak merek yang kelihatannya seperti merek aslinya tetapi sebenarnya tidak palsu yang sering disebut dengan aspal (asli tapi palsu).
Banyak alasan saat ini mengapa tindakan pemanfaatan merek-merek terkenal dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Agar mudah dipasarkan mudah untuk bertransaksi jual beli.
2.      Tidak perlu mengurus nomor pendaftaran ke Dirjen HKI .
3.      Mengurangi pengeluaran untuk untuk membangun citra produknya (brand image).
4.      Tidak perlu membuat divisi riset dan pengembangan untuk dapat menghasilkan produk yang selalu up to date.
Jika hanya dipandang dari segi ekonomi memang pemanfaatan merek akan memberi dampak luar biasa untuk meraup keuntungan serta popularitas sebuah merek yang baru seumur jagung. Tiba-tiba dengan cara yang gampang sudah menjadi konsumsi dimasyarakat. Kenyataan ini memang tidak bisa disangkal karena fakta dilapangan, dimana msyarakat memiliki kriteria untuk mengkonsumsi suatu produk. Salah satu dari kriteria tersebut melihat merek sebuah produk kemudian baru membelinya.
Dengan berbagai kasus yang sudah beranak pinak di tengah masyarakat ini membuat banyak merek yang di jiplak / contek. Baik dari segi bentuk, ukuran, warna, desain, tulisan, penyebutan, gambar dan masih banyak lagi. Meski sudah dibuat regulasi yang mengatur mengenai hal ini. Namum tetap saja plagiarisme masih melekat di kehidupan masyarakat terutama dibidang perdagangan yang memang sangat erat dengan merek. Sudah banyak merek yang mengalami penolakan dan tidak memenuhi syarat untuk didaftarkan. Karena banyaknya merek kembar tetapi beda yang ditemukan ditengah masyarakat.
Ternyata fakta yang ada menunjukkan tidak hanya dalam merek yang berada dalam negeri. Kesamaan antara merek dalam negeri dengan mereka diluar negeri juga dimungkinkan terjadi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mengapa kasus plagiarisme bisa dan masih tetap terjadi?
2.      Apa saja faktor-faktor penyebab kemiripan merek?
3.      Apakah Sengketa Merek Dapat di Ajukan ke PTUN Dalam Upaya Terhadap Penolakan Pendaftaran Merek?

C.    Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas maka tujan yang ingin di capai dalam makalah ini adalah untuk mengetahui alasan mengapa masih marak terjadi kasus plagiarism, faktor apa yang mnyebabkan kesamaan merek dan bagagaimana upaya yang dapat dilakukan terhadap penolakan permintaan pendaftaran merek

D.    Manfaat
1.      Bagi mahasisiwa, dapat menambah pengetahuan tentang plagiarisme dan kemiripan merek.
2.      Bagi masyarakat, agar mengetahui pentingnya perlindungan terhadap merek.



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Plagiarisme
Pemakaian sebuah merek tidak hanya sebatas untuk meraup keuntungan. Merek memiliki tujuan lain yang tidak hanya bisa dipandang dari segi ekonomi. Merek juga memiliki peran untuk memperlancar kegiatan perdagangan barang atau jasa untuk melaksanakan pembangunan. Untuk diperlukan perlindungan merek agar tidak membuat aktifis plagiarisme semakin gencar dengan praktek kotornya. Karena pada dasarnya perlindungan merek tidak hanya untuk kepentingan pemilik merek saja akan tetapi juga untuk kepentingan masyarakat luas sebagai konsumen.
Tidak hanya terjadi di Indonesia masalah mengenai perlindungan merek juga marak terjadi diberbagai negara. Keuntungan yang didapatkan dengan cara yang tidak sulit mendorong sebuh merek untuk ditiru atau numpang tenar layaknya seorang artis. Peniruan merek terkenal marak terjadi memang dilandasi oleh “itikad tidak baik”. Semata-mata tujuannya hanyalah materi, memperoleh keuntungan dengan nebeng dengan popularitas sebuah merek. Perlakuan yang seperti ini memang tidak seharusnya dan tidak selayaknya untuk mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan terhadap merek terkenal dapat dilakukan dengan berbagai cara. Selain dibutuhkan respon serta inisiatif pemilik merek, dapat juga dilakukan oleh kantor merek dengan menolak permintaan pendaftaran merek yang sama atau mirip dengan merek terkenal.
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan yaitu :
1.      Tidak mengatur definisi dan kriteria merek terkenal.
2.      Penolakan atau pembatalan merek, atau larangan penggunaan merek yang merupakan reproduksi, tiruan atau terjemahan yang dapat menyesatkan atas suatu barang atau jasa yang sama atau serupa apabila perundang-undangan negara tersebut mengatur atau permintaan suatu pihak yang berkepentingan.
3.      Gugatan pembatalan dapat diajukan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dari pendaftaran, namun tidak ada jangka waktu apabila pendaftaran itu dilakukan dengan itikad tidak baik.
Tak perlu pergi jauh untuk mengkaji kasus plagiarisme. Di kampus cukup marak kasus plagiarisme terutama yang dilakukan mahasiswa strata satu. Mulai dari mahasiswa yang menyontek pekerjaan rumah, melihat jawaban ujian teman, menyalin habis-habisan laporan praktikum, hingga membuat karya tulis bodong. Kasus di kampus kita lebih mengkhawatirkan ketimbang kasus plagiarisme yang terjadi di Harvard atau di ITB, mengingat bisa saja pelakunya teman kita sendiri.
Banyak hal yang telah dilakukan oleh pihak dosen, dekanat, maupun asisten untuk menekan kasus plagiarisme. Sayangnya jika ditilik, seringkali solusi yang diajukan sudah obsolete. Terkadang solusi tersebut juga belum mengakar pada permasalahan pokok.
Kemungkinan  yang menyebabkan timbulnya plagiarisme adalah tenaga pengajar yang kerap kali tidak membaca tugas mahasiswa dengan sungguh-sungguh. Selain itu ada juga tenaga pengajar yang tidak peduli dengan kasus plagiarisme. Misalnya jika seorang mahasiswa menyalin habis-habisan pekerjaan rumah dari solusi manual, ada saja tenaga pengajar yang senang karena hal itu justru memudahkan pekerjaannya. Ada juga kasus sang pengajar tidak membaca tugas mahasiswanya sungguh-sungguh dengan dalih kesibukan. Hal ini menyebabkan banyak tugas yang lolos dari saringan plagiarisme. Jika kasusnya seperti ini, pengajar harus bertindak tegas. Caranya dengan mulai subyektif dalam menilai tugas. Kemudian ke depannya, mulai berani memberi nilai buruk untuk tugas hasil plagiat.
Namun seringkali sang dosen sudah galak, memberikan nilai jelek untuk karya plagiat, tetapi mahasiswa tidak kapok melakukan plagiat. Akhirnya muncullah ide mewajibkan menulis tangan pada setiap tugas. Alternatif ini dijalankan supaya kalau toh si mahasiswa itu melakukan plagiat, dia masih menulisnya dengan usaha sendiri. Sebab kalau diketik, bisa jadi mahasiswa hanya copy-paste pekerjaan milik temannya. Mengumpulkan tugas dalam bentuk lunak juga memperbesar terjadinya plagiat dari situs di internet.
Solusi tersebut seringkali hanya efektif di awal saja. Seiring berjalannya waktu, plagiat tetap saja terjadi, bahkan terjadi lebih parah. Mungkin mahasiswa berpikir, daripada capek-capek mikir dan nulis, lebih baik capek menulis saja. Kalau sudah begini yang serius mengerjakan tugas akan merasa dirugikan. Kewajiban menulis tugas dengan tangan (terutama yang panjang dan memakan waktu) justru merugikan mahasiswa yang jujur dan ingin produktif. Waktu yang seharusnya bisa ia lakukan untuk mengerjakan tugas atau proyek lain, misalnya, harus direlakan untuk menulis tangan. Bagaimana ini, merugikan banyak pihak?
Jika mau belajar dari negeri lain, tugas menulis tangan adalah solusi yang sudah obsolete. Sudah kedaluarsa. Sebab saat ini sudah ada piranti lunak untuk menghindari terjadinya kasus plagiarisme di dunia akademik. Salah satu contohnya adalah turnitin.com. Universitas di Britania Raya dan Amerika Serikat sudah menggunakan situs ini untuk pengecek plagiarisme. Cara kerja situs pengecek plagiat gratis ini adalah dengan membandingkan pekerjaan mahasiswa dengan milyaran situs internet, dan jutaan makalah yang pernah diunggah ke situs tersebut sebelumnya. Jika ditemukan 5 kata berturut-turut yang sama, maka situs ini akan memberitahukan indikasi plagiarisme. Situs ini juga menawarkan sistem peer-review yang memungkinkan tugas seorang mahasiswa dibaca dan dinilai oleh tenaga akademik lain.
Tentunya sistem peer-review membutuhkan dukungan dari seluruh kalangan akademisi. Sebab jika atmosfer anti-plagiarisme tidak kuat, maka akademisi akan malas juga untuk mengoreksi tulisan mahasiswa tersebut. Di sini dibutuhkan sinergi antara pengoreksi dengan sistem algoritma yang dibuat.
Jika yang disebutkan tadi hanya mencakup plagiarisme di dunia akademisi, bagaimana dengan di ranah seni ?  Atau di dunia musik yang notabene sulit untuk membuat algoritma pemrograman yang membandingkan musik? Ini menarik, sebab nyatanya dari seluruh kasus plagiarisme yang ada di ranah apapun memiliki satu akar penyebab utama.
Guru Besar Matematika ITB Iwan Pranoto, menekankan pentingnya budaya bernalar bagi seluruh penduduk Indonesia. Beliau mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang cenderung kepada menghafal, bukan untuk memecahkan masalah (bernalar). Sistem pendidikan kita juga terlalu mengedepankan nilai (grade) ketimbang mutu (value). Sistem ujian kita yang lebih banyak menggunakan pilihan ganda juga akar permasalahannya. Inilah yang menjadi salah satu akar dari masalah plagiat, menurutnya. Dengan sistem pendidikan yang serba menghafal, siswa akan cenderung takut jika dia tidak ingat apa yang telah dipelajarinya. Karena sistem pendidikan kita mengedepankan nilai, maka siswa akan takut dimarahi orang tua jika nilai ujiannya jelek. Parahnya sifat seperti ini sudah dipupuk sejak masa TK, hingga SMA. Ketika TK, anak takut jika ia tidak hafal warna pelangi, sehingga tidak berani berkreasi. Ketika SD, anak tidak mengetahui jawaban suatu soal, namun karena pilihan ganda ia menjadi santai dan tidak perlu berpikir keras. Ketika SMP, siswa takut tidak lulus UN maka menyontek. Dan seterusnya. Jika sistem pendidikan tidak dibenahi supaya mengajak murid untuk bernalar, maka jangan harap kasus plagiat dan akan sirna di muka bumi ini.
Budaya menghafal dan berorientasi pada nilai (grade) menyebabkan siswa tidak mengetahui tujuan utama dari pendidikan yang sedang dienyamnya. Budaya menghafal dan pilihan ganda yang instan juga membuat siswa begah dan takut saat belajar di kelas. Yang paling parah, budaya menghafal (bukan budaya bernalar) justru menyebabkan orang berpikir bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk menghafal banyak hal. Bukan untuk melatih berpikir supaya bisa menyelesaikan suatu permasalahan. Hal ini terulang terus sejak kecil hingga dewasa. Inilah yang menyebabkan terjadinya plagiarisme: tidak timbulnya rasa kasmaran antara siswa/mahasiswa dengan sesuatu yang dipelajarinya, sehingga membuat siswa itu tidak mampu bernalar. Implikasinya siswa tidak tahu dan malas mencari tahu tentang sesuatu yang sedang dipelajarinya. Karena tidak tahu, malas bernalar, dan tidak ingin mencari tahu, maka berujung pada plagiat.
Inilah yang menyebabkan terjadinya plagiat pada ranah apapun. Karena seniman tidak bernalar dan tidak sanggup berimajinasi, maka ia menyerah pada plagiarisme. Karena seorang jurnalis malas membuat tulisan, maka ia menyerah pada plagiarisme. Karena seorang mahasiswa tidak kasmaran dengan yang dipelajarinya, ia membuat karya tulis bodong. Jelas ini berbahaya.
Memang budaya bernalar ditumbuhkan sejak kecil, namun bukan berarti budaya bernalar tidak bisa dilatih ketika dewasa. Salah satu caranya adalah dengan mencintai apa yang dipelajari, fokus pada hal tersebut, menggali lebih dalam, memecahkan masalah dengan cara tersendiri, dan terus berdiskusi. Plagiarisme masih tetap ada seiring semakin banyaknya jumlah manusia salah satu faktor plagiarisme baru merebak pada abad ke-18 karena sebelumnya jumlah manusia di muka bumi ini yang sangat sedikit, maka kemungkinan plagiat akan tetap terjadi.
Semula, plagiarisme pada tulisan elektronik terjadi. Maka muncullah inovasi dengan kembali menulis tangan. Namun karena tidak efektif memberantas plagiarisme dan menulis tangan adalah membuang-buang waktu, muncullah inovasi dengan membuat piranti lunak anti-plagiarisme. Kedepannya, pasti plagiator akan menemukan 1001 cara untuk melakukan plagiarisme. Maka dari itu apa pun akar dari plagiarisme yang akan terjadi di masa depan, perlu diperangi. Plagiarisme akan tetap ada karena perubahan dinamika sosial dan kemajuan teknologi. Dengan terhapusnya plagiarisme saat ini, bukan berarti perlu bersantai dan berleha-leha. Perlu terus dilakukan inovasi dan peperangan terhadap plagiarisme yang tiada henti.

B.     Faktor-Faktor Penyebab Kemiripan Merek
kasus kemiripan merek pada produk makanan dan minuman di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap merek masih sangat lemah. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengenal adanya system perlindungan terhadap merek yaitu sistem konstitutif, artinya adalah perlindungan hak atas merek diberikan hanya berdasarkan adanya pendaftaran. Sistem ini dikenal juga dengan istilah first to file system, yang artinya perlindungan diberikan kepada siapa yang mendaftar lebih dulu. Pemohon sesudahnya yang mengajukan merek yang sama atau mirip tidak akan mendapat perlindungan hukum. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 telah mengatur ketentuan merek sedemikian rupa, namun pada praktiknya sering timbul beberapa masalah dalam pemeriksaan merek. Masalah yang paling sering terjadi adalah yang berkaitan dengan persamaan merek. Pasal 6 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa permohonan merek harus ditolak oleh Direktorat Jendral Hak atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HaKI) apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dulu untuk barang dan atau jasa sejenis. Pasal 6 ayat (1) huruf a sedimikian jelas telah mengatur perlindungan hukum bagi pemegang hak atas merek namun kenyataanya kemiripan dalam merek baik barang maupun saja masih terjadi hingga saat ini. Menentukan ada tidaknya suatu persamaan dalam merek dapat dilakukan melalui pendekatan teori. Berikut ini adalah beberapa teori mengenai persamaan merek dan contoh-contoh merek yang dianggap sama dan tidak sama, yaitu :

1.       Persamaan Keseluruhan Elemen
Persamaan Keseluruhan Elemen adalah standar untuk menentukan adanya persamaan, dalam hal ini merek yang diminta untuk didaftarkan merupakan hasil karya atau reproduksi merek orang lain. Agar suatu merek dapat disebut hasil karya atau reproduksi dari merek orang lain sehingga dapat dikualifikasi mengandung persamaan secara keseluruhan harus memenuhi syarat-syarat :
a.       Terdapat Persamaan Elemen Merek secara Keseluruhan. Bahwa dalam merek produk barang maupun jasa yang sejenis maupun tidak sejenis terdapat kesamaan dalam unsur-unsur atau elemen-elemen yang terdapat dalam merek secara keseluruhan baik dari bentuk, bunyi, penempatan atau tata letak, huruf, angka dan gabungan dari semua elemen-elemen tersebut.
b.      Persamaan Jenis atau Produksi dan Kelas Barang atau Jasa Bahwa barang yang diproduksi memiliki kesamaan jenis dan cara memproduksi, contohnya : jenis kesamaan merek jenis produk minuman dan kesamaan merek jenis produk makanan
c.       Persamaan Wilayah dan Segmen Perusahaan. Bahwa merek barang atau jasa yang dihasilkan memiliki persamaan dalam wilayah atau letak geografis yang sama dan segemen merek barang yang dihasilkan ditujukan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah atau menengah ke atas. Contohnya: Kopi Toraja yang berasal dari daerah Toraja, Brem Bali dari Bali, Batik Pekalongan dari Pekalongan, dan lain-lain.
d.      Persamaan Cara dan Perilaku Pemakaian, Bahwa adanya kesamaan cara dalam memproduksi merek barang maupun jasa.
e.       Persamaan Cara Pemeliharaan. Adanya kesamaan dalam menjaga kualitas dan kuantitas sebuah merek produk barang atau jasa.
f.       Persamaan Jalur Pemasaran. Bahwa dalam memasarkan merek barang atau jasa terdapat kesamaan antara unsur-unsur dari suatu merek.
Syarat-syarat tersebut di atas bersifat kumulatif, sehingga untuk menentukan adanya persamaan harus semuanya terpenuhi. Standar penentuan berdasarkan ajaran ini dianggap terlalu kaku dan tidak dapat melindungi kepentinagan pemilik merek khususnya untuk merek terkenal.

2.      Persamaan pada pokoknya
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tahun 2001 Tentang Merek menyebutkan bahwa persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik dalam bentuk (lukisan atau tulisan), cara penempatan (yaitu unsur-unsur yang diatur sedemikian rupa sehingga timbul kesan sama dengan merek orang lain), arti dan kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi dalam ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.
Permasalahan yang timbul dalam pemeriksaan merek adalah bagaimana menerapkan ketentuan mengenai barang dan /atau jasa sejenis atau tidak sejenis. Dilihat dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 6 ayat (1) huruf a untuk menentukan ada tidaknya suatu persamaan pada merek, selain ditentukan oleh mereknya sendiri, juga ditentukan oleh jenis barang dan atau jasanya. Jika barang atau jasa yang hendak dilindungi oleh suatu merek yang sama dengan merek orang lain berbeda, maka dianggap tidak terpenuhi syarat persaman baik keseluruhan maupun pada pokoknya.
Suatu barang belum tentu dapat dikatakan sejenis dengan barang tertentu lainnya meskipun berada dalam satu kelas yang sama, demikian sebaliknya suatu barang bisa dikatakan sejenis dengan barang lainnya walaupun berada pada kelas yang berbeda, karena keterkaitan yang sangat erat antara kedua barang tersebut. Sejauh ini batasan mengenai merek terkenal hanya berdasarkan kriteria penggolongan sebagai berikut:
a.       Reputasi merek tersebut tidak harus terbatas pada produk tertentu atau jenis produk, memiliki kualitas stabil dari waktu ke waktu, dapat dipertahankan di berbagai negara serta memiliki pendaftaran di beberapa negara.
b.      Perlindungan diberikan dalam hubungan pemakaian secara umum dan tidak hanya berhubungan dengan jenis barang-barang dimana merek tersebut didaftarkan.
c.       Faktor pengetahuan masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan yang dapat diketahui dari adanya promosi yang dilakukan dengan gencar dan besar-besaran, adanya investasi di beberapa negara yang dilakukan oleh pemiliknya, disertai dengan adanya bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara.
Permasalahan di atas mengenai persamaan merek dan jenis barang serta kriteria merek terkenal sering menimbulkan masalah dalam pemeriksaan merek, selain karena tidak adanya ketentuan yang memberikan pedoman yang pasti pada pemeriksaan merek, juga karena sifatnya sangat subyektif sehingga untuk menentukan arti yang sebenarnya dari persamaan pada pokoknya dari suatu merek barang atau jasa bergantung pada penafsiran dan penilaian yang berbeda dari masing-masing individu. Keadaan ini menyebabkan munculnya putusan-putusan yang kurang konsisten mengenai kasus-kasus yang serupa.
Merek dapat berfungsi sebagai gambaran jaminan kepribadian (individual) dan reputasi barang atau jasa hasil usahanya tersebut sewaktu diperdagangkan. salah satu masalah yang sering di hadapi yaitu tentang pemalsuan merek dan kemiripan dalam merek. Pemalsuan merek merupakan penggunaan tanda yang berupa gambar, nama, kata-kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur yang memiliki kesamaan pada pokoknya dan keseluruhannya yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa sejenis dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah merek atau tanda itu sah. Kemiripan merek yaitu penggunaan tanda yang berupa gambar, nama, kata-kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur yang memiliki kesamaan pada pokoknya dan keseluruhannya yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa sejenis. Pemalsuan merek dapat menimbulkan kerugian baik bagi pemilik merek terdaftar maupun bagi masyarakat umum. Faktor-faktor yang menyebabkan suatu merek memiliki kemiripan dengan produk lain yaitu :
1.      Mengangkat nilai jual suatu barang dengan meniru produk lain yang sejenis untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
2.      Lemahnya aturan mengenai merek dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek khususnya penafsiran terhadap pasal 6 ayat (1) sehingga memberikan kesempatan kepada setiap orang atau badan usaha untuk meniru produk lain yang sejenis.
3.      Lemahnya kesadaran untuk mendaftarkan merek hasil karya atau produksi.
4.      Lemahnya kesadaran hukum masyarakat untuk menghargai merek hasil karya orang lain.
Kemiripan antara merek satu dengan yang lain ini bisa juga disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol dari masing-masing merek yang diperbandingkan. Unsur-unsur yang menonjol itu apabila disimpulkan dari bunyi pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dapat terdiri dari :
1.      Nama
2.      Kata
3.      Huruf-Huruf
4.      Angka-Angka
5.      Susunan Warna
6.      Kombinasi Dari Unsur-unsur tersebut.
Kemiripan antara merek yang satu dengan merek lain muncul karenamasing-masing unsur yaitu, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari semua unsur itu ada yang menonjol. Sejauh mana unsur-unsur tersebut dikatakan menonjol, penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek hanya menyebutkan sampai unsur-unsur itu menimbulkan kesan adanya persamaan pada :
1.      Bentuk
2.      Cara penempatan
3.      Cara penulisan atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut
4.      Bunyi ucapan
Persamaan Bentuk (Similarity of Appearance), hal yang menjadi pertimbangan utama persamaan pada pokoknya terletak pada kesan penglihatan (Visual imprresion) secara keseluruhan dari masing-masing bentuk merek. Persamaan bentuk ini tidak mempersoalkan persamaan atau perbedaan masing-masing unsurnya, cukup dapat dikatakan terdapat persamaan pada pokoknya bila konsumen mendapat kesan bahwa suatu merek yang palsu secara penglihatan terkesan seperti aslinya. Kesan penglihatan ini muncul dengan cara mengamati keseluruhan unsur tanpa membedakan variasi unsurnya.
Persamaan pada merek bisa juga disimpulkan dari adanya persamaan bunyi pada merek-merek yang diperbandingkan, terutama pada merek-merek yang mengandalkan kekuatan bunyi kata. Dalam persamaan bunyi ini pelafalan atau cara pengucapan (pronounciation) merek yang benar bukanlah faktor yang menentukan. Pelafalan atau pengucapan yang tidak benar bisa juga menyebabkan adanya persamaan bunyi merek.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemiripan atau kesamaan merek dalam suatu produk muncul karena adanya persamaan dalam bentuk, makna, serta bunyi dari merek-merek yang diperbandingkan. Bentuk ini terdiri dari bentuk kata, nama, huruf, angka, warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.

C.    Apakah Sengketa Merek Dapat di Ajukan ke Perdailan Tata Usaha Negara Dalam Upaya Terhadap Penolakan Pendaftaran Merek ?
Keputusan Banding Merek adalah bersifat final. Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 menghendaki masalah permintaan pendaftaran merek selesai sampai dikeluarkannya keputusan dari Komisi Banding Merek. Pihak yang ditolak permintaan bandingnya harus di anggap menerima keputusan meskipun ia merasa tidak puas dengan keputusan itu.
Meskipun demikian Komisi Banding Merek adalah Badan Tata Usaha Negara karena itu keputusan Komisi Banding Merek masih di mungkinkan untuk digugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
Lalu keputusan yang bagaimanakah yang dapat digugat melalui PTUN itu? Dalam Undag-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terutama pasal 53 ayat (2) telah menentukan Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat, untuk dinyatkan batal atau tidak sah, dengan alasan-alasan sebagagi berikut :
-          Keputusan Tata Usaha Negara itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-          Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dalam ayat (1) telah mengguanakan wewenangnya untuk tujan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
-          Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimasud dalam ayat (1), setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut.
Setelah mengetahui alasan-alasannya maka untuk dapat menggugat keputusan Komisi Banding Merek ke Peradilan Tata Usaha Negara harus memenuhi salah satu alasan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1986 di atas.
Jadi kesimpulannya pihak yang merasa dirugikan masih dapat mengugat keputusan Komisi Banding Merek ke Peradilan Tata Usaha Negara jika ada alasan untuk itu.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Plagiarisme akan tetap ada karena perubahan dinamika sosial dan kemajuan teknologi.
2.      Faktor-faktor penyebab kemiripan merek adalah sebagai berikut :
·         Mengangkat nilai jual suatu barang dengan meniru produk lain yang sejenis untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
·         Lemahnya aturan mengenai merek dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek khususnya penafsiran terhadap pasal 6 ayat (1) sehingga memberikan kesempatan kepada setiap orang atau badan usaha untuk meniru produk lain yang sejenis.
·         Lemahnya kesadaran untuk mendaftarkan merek hasil karya atau produksi.
·         Lemahnya kesadaran hukum masyarakat untuk menghargai merek hasil karya orang lain.
3.      pihak yang merasa dirugikan masih dapat mengugat keputusan Komisi Banding Merek ke Peradilan Tata Usaha Negara jika ada alasannya sesuai dengan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1986.

B.     Saran
Sebagai mahasiswa hendaknya menambah wawasan dan menyebarkan informasi tentang pentingnya perlindungan HAKI khususnya pada bidang Merek.



DAFTAR PUSTAKA


Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin. 2005. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Sudargo Gautama. 1995. Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual. PT.Eresco: Bandung.
Agung Sudjatmiko. 2000. Perlindungan Hukum Hak Atas Merek. Yuridika, Vol. 15 No. 5 September-Agustus: Jakarta.
S. Kayatmo, 1999, Hakekat dan Manfaat Perlindungan Hak Merek Prosedur Pendaftaran dan Perolehan Haknya. Jakarta.
Undang-Undang No. 15 tahun 2001 Tentang Merek.