Kamis, 23 Januari 2014

HAKI MEREK

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Banyak  hal yang didapatkan dari merek-merek terkenal terutama dalam hal ekonomi. Keuntungan dalam bentuk materi akan mudah didapatkan dengan cara yang instan. Dimana pada saat ini bayak sekali kasus yang numpang / nebeng dengan merek terkenal agar dapat mendongkrak keuntungan dan poularitas sebuah merek yang kurang mendapat perhatian dari konsumen. Banyak merek yang kelihatannya seperti merek aslinya tetapi sebenarnya tidak palsu yang sering disebut dengan aspal (asli tapi palsu).
Banyak alasan saat ini mengapa tindakan pemanfaatan merek-merek terkenal dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Agar mudah dipasarkan mudah untuk bertransaksi jual beli.
2.      Tidak perlu mengurus nomor pendaftaran ke Dirjen HKI .
3.      Mengurangi pengeluaran untuk untuk membangun citra produknya (brand image).
4.      Tidak perlu membuat divisi riset dan pengembangan untuk dapat menghasilkan produk yang selalu up to date.
Jika hanya dipandang dari segi ekonomi memang pemanfaatan merek akan memberi dampak luar biasa untuk meraup keuntungan serta popularitas sebuah merek yang baru seumur jagung. Tiba-tiba dengan cara yang gampang sudah menjadi konsumsi dimasyarakat. Kenyataan ini memang tidak bisa disangkal karena fakta dilapangan, dimana msyarakat memiliki kriteria untuk mengkonsumsi suatu produk. Salah satu dari kriteria tersebut melihat merek sebuah produk kemudian baru membelinya.
Dengan berbagai kasus yang sudah beranak pinak di tengah masyarakat ini membuat banyak merek yang di jiplak / contek. Baik dari segi bentuk, ukuran, warna, desain, tulisan, penyebutan, gambar dan masih banyak lagi. Meski sudah dibuat regulasi yang mengatur mengenai hal ini. Namum tetap saja plagiarisme masih melekat di kehidupan masyarakat terutama dibidang perdagangan yang memang sangat erat dengan merek. Sudah banyak merek yang mengalami penolakan dan tidak memenuhi syarat untuk didaftarkan. Karena banyaknya merek kembar tetapi beda yang ditemukan ditengah masyarakat.
Ternyata fakta yang ada menunjukkan tidak hanya dalam merek yang berada dalam negeri. Kesamaan antara merek dalam negeri dengan mereka diluar negeri juga dimungkinkan terjadi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mengapa kasus plagiarisme bisa dan masih tetap terjadi?
2.      Apa saja faktor-faktor penyebab kemiripan merek?
3.      Apakah Sengketa Merek Dapat di Ajukan ke PTUN Dalam Upaya Terhadap Penolakan Pendaftaran Merek?

C.    Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas maka tujan yang ingin di capai dalam makalah ini adalah untuk mengetahui alasan mengapa masih marak terjadi kasus plagiarism, faktor apa yang mnyebabkan kesamaan merek dan bagagaimana upaya yang dapat dilakukan terhadap penolakan permintaan pendaftaran merek

D.    Manfaat
1.      Bagi mahasisiwa, dapat menambah pengetahuan tentang plagiarisme dan kemiripan merek.
2.      Bagi masyarakat, agar mengetahui pentingnya perlindungan terhadap merek.



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Plagiarisme
Pemakaian sebuah merek tidak hanya sebatas untuk meraup keuntungan. Merek memiliki tujuan lain yang tidak hanya bisa dipandang dari segi ekonomi. Merek juga memiliki peran untuk memperlancar kegiatan perdagangan barang atau jasa untuk melaksanakan pembangunan. Untuk diperlukan perlindungan merek agar tidak membuat aktifis plagiarisme semakin gencar dengan praktek kotornya. Karena pada dasarnya perlindungan merek tidak hanya untuk kepentingan pemilik merek saja akan tetapi juga untuk kepentingan masyarakat luas sebagai konsumen.
Tidak hanya terjadi di Indonesia masalah mengenai perlindungan merek juga marak terjadi diberbagai negara. Keuntungan yang didapatkan dengan cara yang tidak sulit mendorong sebuh merek untuk ditiru atau numpang tenar layaknya seorang artis. Peniruan merek terkenal marak terjadi memang dilandasi oleh “itikad tidak baik”. Semata-mata tujuannya hanyalah materi, memperoleh keuntungan dengan nebeng dengan popularitas sebuah merek. Perlakuan yang seperti ini memang tidak seharusnya dan tidak selayaknya untuk mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan terhadap merek terkenal dapat dilakukan dengan berbagai cara. Selain dibutuhkan respon serta inisiatif pemilik merek, dapat juga dilakukan oleh kantor merek dengan menolak permintaan pendaftaran merek yang sama atau mirip dengan merek terkenal.
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan yaitu :
1.      Tidak mengatur definisi dan kriteria merek terkenal.
2.      Penolakan atau pembatalan merek, atau larangan penggunaan merek yang merupakan reproduksi, tiruan atau terjemahan yang dapat menyesatkan atas suatu barang atau jasa yang sama atau serupa apabila perundang-undangan negara tersebut mengatur atau permintaan suatu pihak yang berkepentingan.
3.      Gugatan pembatalan dapat diajukan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dari pendaftaran, namun tidak ada jangka waktu apabila pendaftaran itu dilakukan dengan itikad tidak baik.
Tak perlu pergi jauh untuk mengkaji kasus plagiarisme. Di kampus cukup marak kasus plagiarisme terutama yang dilakukan mahasiswa strata satu. Mulai dari mahasiswa yang menyontek pekerjaan rumah, melihat jawaban ujian teman, menyalin habis-habisan laporan praktikum, hingga membuat karya tulis bodong. Kasus di kampus kita lebih mengkhawatirkan ketimbang kasus plagiarisme yang terjadi di Harvard atau di ITB, mengingat bisa saja pelakunya teman kita sendiri.
Banyak hal yang telah dilakukan oleh pihak dosen, dekanat, maupun asisten untuk menekan kasus plagiarisme. Sayangnya jika ditilik, seringkali solusi yang diajukan sudah obsolete. Terkadang solusi tersebut juga belum mengakar pada permasalahan pokok.
Kemungkinan  yang menyebabkan timbulnya plagiarisme adalah tenaga pengajar yang kerap kali tidak membaca tugas mahasiswa dengan sungguh-sungguh. Selain itu ada juga tenaga pengajar yang tidak peduli dengan kasus plagiarisme. Misalnya jika seorang mahasiswa menyalin habis-habisan pekerjaan rumah dari solusi manual, ada saja tenaga pengajar yang senang karena hal itu justru memudahkan pekerjaannya. Ada juga kasus sang pengajar tidak membaca tugas mahasiswanya sungguh-sungguh dengan dalih kesibukan. Hal ini menyebabkan banyak tugas yang lolos dari saringan plagiarisme. Jika kasusnya seperti ini, pengajar harus bertindak tegas. Caranya dengan mulai subyektif dalam menilai tugas. Kemudian ke depannya, mulai berani memberi nilai buruk untuk tugas hasil plagiat.
Namun seringkali sang dosen sudah galak, memberikan nilai jelek untuk karya plagiat, tetapi mahasiswa tidak kapok melakukan plagiat. Akhirnya muncullah ide mewajibkan menulis tangan pada setiap tugas. Alternatif ini dijalankan supaya kalau toh si mahasiswa itu melakukan plagiat, dia masih menulisnya dengan usaha sendiri. Sebab kalau diketik, bisa jadi mahasiswa hanya copy-paste pekerjaan milik temannya. Mengumpulkan tugas dalam bentuk lunak juga memperbesar terjadinya plagiat dari situs di internet.
Solusi tersebut seringkali hanya efektif di awal saja. Seiring berjalannya waktu, plagiat tetap saja terjadi, bahkan terjadi lebih parah. Mungkin mahasiswa berpikir, daripada capek-capek mikir dan nulis, lebih baik capek menulis saja. Kalau sudah begini yang serius mengerjakan tugas akan merasa dirugikan. Kewajiban menulis tugas dengan tangan (terutama yang panjang dan memakan waktu) justru merugikan mahasiswa yang jujur dan ingin produktif. Waktu yang seharusnya bisa ia lakukan untuk mengerjakan tugas atau proyek lain, misalnya, harus direlakan untuk menulis tangan. Bagaimana ini, merugikan banyak pihak?
Jika mau belajar dari negeri lain, tugas menulis tangan adalah solusi yang sudah obsolete. Sudah kedaluarsa. Sebab saat ini sudah ada piranti lunak untuk menghindari terjadinya kasus plagiarisme di dunia akademik. Salah satu contohnya adalah turnitin.com. Universitas di Britania Raya dan Amerika Serikat sudah menggunakan situs ini untuk pengecek plagiarisme. Cara kerja situs pengecek plagiat gratis ini adalah dengan membandingkan pekerjaan mahasiswa dengan milyaran situs internet, dan jutaan makalah yang pernah diunggah ke situs tersebut sebelumnya. Jika ditemukan 5 kata berturut-turut yang sama, maka situs ini akan memberitahukan indikasi plagiarisme. Situs ini juga menawarkan sistem peer-review yang memungkinkan tugas seorang mahasiswa dibaca dan dinilai oleh tenaga akademik lain.
Tentunya sistem peer-review membutuhkan dukungan dari seluruh kalangan akademisi. Sebab jika atmosfer anti-plagiarisme tidak kuat, maka akademisi akan malas juga untuk mengoreksi tulisan mahasiswa tersebut. Di sini dibutuhkan sinergi antara pengoreksi dengan sistem algoritma yang dibuat.
Jika yang disebutkan tadi hanya mencakup plagiarisme di dunia akademisi, bagaimana dengan di ranah seni ?  Atau di dunia musik yang notabene sulit untuk membuat algoritma pemrograman yang membandingkan musik? Ini menarik, sebab nyatanya dari seluruh kasus plagiarisme yang ada di ranah apapun memiliki satu akar penyebab utama.
Guru Besar Matematika ITB Iwan Pranoto, menekankan pentingnya budaya bernalar bagi seluruh penduduk Indonesia. Beliau mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang cenderung kepada menghafal, bukan untuk memecahkan masalah (bernalar). Sistem pendidikan kita juga terlalu mengedepankan nilai (grade) ketimbang mutu (value). Sistem ujian kita yang lebih banyak menggunakan pilihan ganda juga akar permasalahannya. Inilah yang menjadi salah satu akar dari masalah plagiat, menurutnya. Dengan sistem pendidikan yang serba menghafal, siswa akan cenderung takut jika dia tidak ingat apa yang telah dipelajarinya. Karena sistem pendidikan kita mengedepankan nilai, maka siswa akan takut dimarahi orang tua jika nilai ujiannya jelek. Parahnya sifat seperti ini sudah dipupuk sejak masa TK, hingga SMA. Ketika TK, anak takut jika ia tidak hafal warna pelangi, sehingga tidak berani berkreasi. Ketika SD, anak tidak mengetahui jawaban suatu soal, namun karena pilihan ganda ia menjadi santai dan tidak perlu berpikir keras. Ketika SMP, siswa takut tidak lulus UN maka menyontek. Dan seterusnya. Jika sistem pendidikan tidak dibenahi supaya mengajak murid untuk bernalar, maka jangan harap kasus plagiat dan akan sirna di muka bumi ini.
Budaya menghafal dan berorientasi pada nilai (grade) menyebabkan siswa tidak mengetahui tujuan utama dari pendidikan yang sedang dienyamnya. Budaya menghafal dan pilihan ganda yang instan juga membuat siswa begah dan takut saat belajar di kelas. Yang paling parah, budaya menghafal (bukan budaya bernalar) justru menyebabkan orang berpikir bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk menghafal banyak hal. Bukan untuk melatih berpikir supaya bisa menyelesaikan suatu permasalahan. Hal ini terulang terus sejak kecil hingga dewasa. Inilah yang menyebabkan terjadinya plagiarisme: tidak timbulnya rasa kasmaran antara siswa/mahasiswa dengan sesuatu yang dipelajarinya, sehingga membuat siswa itu tidak mampu bernalar. Implikasinya siswa tidak tahu dan malas mencari tahu tentang sesuatu yang sedang dipelajarinya. Karena tidak tahu, malas bernalar, dan tidak ingin mencari tahu, maka berujung pada plagiat.
Inilah yang menyebabkan terjadinya plagiat pada ranah apapun. Karena seniman tidak bernalar dan tidak sanggup berimajinasi, maka ia menyerah pada plagiarisme. Karena seorang jurnalis malas membuat tulisan, maka ia menyerah pada plagiarisme. Karena seorang mahasiswa tidak kasmaran dengan yang dipelajarinya, ia membuat karya tulis bodong. Jelas ini berbahaya.
Memang budaya bernalar ditumbuhkan sejak kecil, namun bukan berarti budaya bernalar tidak bisa dilatih ketika dewasa. Salah satu caranya adalah dengan mencintai apa yang dipelajari, fokus pada hal tersebut, menggali lebih dalam, memecahkan masalah dengan cara tersendiri, dan terus berdiskusi. Plagiarisme masih tetap ada seiring semakin banyaknya jumlah manusia salah satu faktor plagiarisme baru merebak pada abad ke-18 karena sebelumnya jumlah manusia di muka bumi ini yang sangat sedikit, maka kemungkinan plagiat akan tetap terjadi.
Semula, plagiarisme pada tulisan elektronik terjadi. Maka muncullah inovasi dengan kembali menulis tangan. Namun karena tidak efektif memberantas plagiarisme dan menulis tangan adalah membuang-buang waktu, muncullah inovasi dengan membuat piranti lunak anti-plagiarisme. Kedepannya, pasti plagiator akan menemukan 1001 cara untuk melakukan plagiarisme. Maka dari itu apa pun akar dari plagiarisme yang akan terjadi di masa depan, perlu diperangi. Plagiarisme akan tetap ada karena perubahan dinamika sosial dan kemajuan teknologi. Dengan terhapusnya plagiarisme saat ini, bukan berarti perlu bersantai dan berleha-leha. Perlu terus dilakukan inovasi dan peperangan terhadap plagiarisme yang tiada henti.

B.     Faktor-Faktor Penyebab Kemiripan Merek
kasus kemiripan merek pada produk makanan dan minuman di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap merek masih sangat lemah. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengenal adanya system perlindungan terhadap merek yaitu sistem konstitutif, artinya adalah perlindungan hak atas merek diberikan hanya berdasarkan adanya pendaftaran. Sistem ini dikenal juga dengan istilah first to file system, yang artinya perlindungan diberikan kepada siapa yang mendaftar lebih dulu. Pemohon sesudahnya yang mengajukan merek yang sama atau mirip tidak akan mendapat perlindungan hukum. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 telah mengatur ketentuan merek sedemikian rupa, namun pada praktiknya sering timbul beberapa masalah dalam pemeriksaan merek. Masalah yang paling sering terjadi adalah yang berkaitan dengan persamaan merek. Pasal 6 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa permohonan merek harus ditolak oleh Direktorat Jendral Hak atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HaKI) apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dulu untuk barang dan atau jasa sejenis. Pasal 6 ayat (1) huruf a sedimikian jelas telah mengatur perlindungan hukum bagi pemegang hak atas merek namun kenyataanya kemiripan dalam merek baik barang maupun saja masih terjadi hingga saat ini. Menentukan ada tidaknya suatu persamaan dalam merek dapat dilakukan melalui pendekatan teori. Berikut ini adalah beberapa teori mengenai persamaan merek dan contoh-contoh merek yang dianggap sama dan tidak sama, yaitu :

1.       Persamaan Keseluruhan Elemen
Persamaan Keseluruhan Elemen adalah standar untuk menentukan adanya persamaan, dalam hal ini merek yang diminta untuk didaftarkan merupakan hasil karya atau reproduksi merek orang lain. Agar suatu merek dapat disebut hasil karya atau reproduksi dari merek orang lain sehingga dapat dikualifikasi mengandung persamaan secara keseluruhan harus memenuhi syarat-syarat :
a.       Terdapat Persamaan Elemen Merek secara Keseluruhan. Bahwa dalam merek produk barang maupun jasa yang sejenis maupun tidak sejenis terdapat kesamaan dalam unsur-unsur atau elemen-elemen yang terdapat dalam merek secara keseluruhan baik dari bentuk, bunyi, penempatan atau tata letak, huruf, angka dan gabungan dari semua elemen-elemen tersebut.
b.      Persamaan Jenis atau Produksi dan Kelas Barang atau Jasa Bahwa barang yang diproduksi memiliki kesamaan jenis dan cara memproduksi, contohnya : jenis kesamaan merek jenis produk minuman dan kesamaan merek jenis produk makanan
c.       Persamaan Wilayah dan Segmen Perusahaan. Bahwa merek barang atau jasa yang dihasilkan memiliki persamaan dalam wilayah atau letak geografis yang sama dan segemen merek barang yang dihasilkan ditujukan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah atau menengah ke atas. Contohnya: Kopi Toraja yang berasal dari daerah Toraja, Brem Bali dari Bali, Batik Pekalongan dari Pekalongan, dan lain-lain.
d.      Persamaan Cara dan Perilaku Pemakaian, Bahwa adanya kesamaan cara dalam memproduksi merek barang maupun jasa.
e.       Persamaan Cara Pemeliharaan. Adanya kesamaan dalam menjaga kualitas dan kuantitas sebuah merek produk barang atau jasa.
f.       Persamaan Jalur Pemasaran. Bahwa dalam memasarkan merek barang atau jasa terdapat kesamaan antara unsur-unsur dari suatu merek.
Syarat-syarat tersebut di atas bersifat kumulatif, sehingga untuk menentukan adanya persamaan harus semuanya terpenuhi. Standar penentuan berdasarkan ajaran ini dianggap terlalu kaku dan tidak dapat melindungi kepentinagan pemilik merek khususnya untuk merek terkenal.

2.      Persamaan pada pokoknya
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tahun 2001 Tentang Merek menyebutkan bahwa persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik dalam bentuk (lukisan atau tulisan), cara penempatan (yaitu unsur-unsur yang diatur sedemikian rupa sehingga timbul kesan sama dengan merek orang lain), arti dan kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi dalam ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.
Permasalahan yang timbul dalam pemeriksaan merek adalah bagaimana menerapkan ketentuan mengenai barang dan /atau jasa sejenis atau tidak sejenis. Dilihat dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 6 ayat (1) huruf a untuk menentukan ada tidaknya suatu persamaan pada merek, selain ditentukan oleh mereknya sendiri, juga ditentukan oleh jenis barang dan atau jasanya. Jika barang atau jasa yang hendak dilindungi oleh suatu merek yang sama dengan merek orang lain berbeda, maka dianggap tidak terpenuhi syarat persaman baik keseluruhan maupun pada pokoknya.
Suatu barang belum tentu dapat dikatakan sejenis dengan barang tertentu lainnya meskipun berada dalam satu kelas yang sama, demikian sebaliknya suatu barang bisa dikatakan sejenis dengan barang lainnya walaupun berada pada kelas yang berbeda, karena keterkaitan yang sangat erat antara kedua barang tersebut. Sejauh ini batasan mengenai merek terkenal hanya berdasarkan kriteria penggolongan sebagai berikut:
a.       Reputasi merek tersebut tidak harus terbatas pada produk tertentu atau jenis produk, memiliki kualitas stabil dari waktu ke waktu, dapat dipertahankan di berbagai negara serta memiliki pendaftaran di beberapa negara.
b.      Perlindungan diberikan dalam hubungan pemakaian secara umum dan tidak hanya berhubungan dengan jenis barang-barang dimana merek tersebut didaftarkan.
c.       Faktor pengetahuan masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan yang dapat diketahui dari adanya promosi yang dilakukan dengan gencar dan besar-besaran, adanya investasi di beberapa negara yang dilakukan oleh pemiliknya, disertai dengan adanya bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara.
Permasalahan di atas mengenai persamaan merek dan jenis barang serta kriteria merek terkenal sering menimbulkan masalah dalam pemeriksaan merek, selain karena tidak adanya ketentuan yang memberikan pedoman yang pasti pada pemeriksaan merek, juga karena sifatnya sangat subyektif sehingga untuk menentukan arti yang sebenarnya dari persamaan pada pokoknya dari suatu merek barang atau jasa bergantung pada penafsiran dan penilaian yang berbeda dari masing-masing individu. Keadaan ini menyebabkan munculnya putusan-putusan yang kurang konsisten mengenai kasus-kasus yang serupa.
Merek dapat berfungsi sebagai gambaran jaminan kepribadian (individual) dan reputasi barang atau jasa hasil usahanya tersebut sewaktu diperdagangkan. salah satu masalah yang sering di hadapi yaitu tentang pemalsuan merek dan kemiripan dalam merek. Pemalsuan merek merupakan penggunaan tanda yang berupa gambar, nama, kata-kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur yang memiliki kesamaan pada pokoknya dan keseluruhannya yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa sejenis dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah merek atau tanda itu sah. Kemiripan merek yaitu penggunaan tanda yang berupa gambar, nama, kata-kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur yang memiliki kesamaan pada pokoknya dan keseluruhannya yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa sejenis. Pemalsuan merek dapat menimbulkan kerugian baik bagi pemilik merek terdaftar maupun bagi masyarakat umum. Faktor-faktor yang menyebabkan suatu merek memiliki kemiripan dengan produk lain yaitu :
1.      Mengangkat nilai jual suatu barang dengan meniru produk lain yang sejenis untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
2.      Lemahnya aturan mengenai merek dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek khususnya penafsiran terhadap pasal 6 ayat (1) sehingga memberikan kesempatan kepada setiap orang atau badan usaha untuk meniru produk lain yang sejenis.
3.      Lemahnya kesadaran untuk mendaftarkan merek hasil karya atau produksi.
4.      Lemahnya kesadaran hukum masyarakat untuk menghargai merek hasil karya orang lain.
Kemiripan antara merek satu dengan yang lain ini bisa juga disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol dari masing-masing merek yang diperbandingkan. Unsur-unsur yang menonjol itu apabila disimpulkan dari bunyi pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dapat terdiri dari :
1.      Nama
2.      Kata
3.      Huruf-Huruf
4.      Angka-Angka
5.      Susunan Warna
6.      Kombinasi Dari Unsur-unsur tersebut.
Kemiripan antara merek yang satu dengan merek lain muncul karenamasing-masing unsur yaitu, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari semua unsur itu ada yang menonjol. Sejauh mana unsur-unsur tersebut dikatakan menonjol, penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek hanya menyebutkan sampai unsur-unsur itu menimbulkan kesan adanya persamaan pada :
1.      Bentuk
2.      Cara penempatan
3.      Cara penulisan atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut
4.      Bunyi ucapan
Persamaan Bentuk (Similarity of Appearance), hal yang menjadi pertimbangan utama persamaan pada pokoknya terletak pada kesan penglihatan (Visual imprresion) secara keseluruhan dari masing-masing bentuk merek. Persamaan bentuk ini tidak mempersoalkan persamaan atau perbedaan masing-masing unsurnya, cukup dapat dikatakan terdapat persamaan pada pokoknya bila konsumen mendapat kesan bahwa suatu merek yang palsu secara penglihatan terkesan seperti aslinya. Kesan penglihatan ini muncul dengan cara mengamati keseluruhan unsur tanpa membedakan variasi unsurnya.
Persamaan pada merek bisa juga disimpulkan dari adanya persamaan bunyi pada merek-merek yang diperbandingkan, terutama pada merek-merek yang mengandalkan kekuatan bunyi kata. Dalam persamaan bunyi ini pelafalan atau cara pengucapan (pronounciation) merek yang benar bukanlah faktor yang menentukan. Pelafalan atau pengucapan yang tidak benar bisa juga menyebabkan adanya persamaan bunyi merek.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemiripan atau kesamaan merek dalam suatu produk muncul karena adanya persamaan dalam bentuk, makna, serta bunyi dari merek-merek yang diperbandingkan. Bentuk ini terdiri dari bentuk kata, nama, huruf, angka, warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.

C.    Apakah Sengketa Merek Dapat di Ajukan ke Perdailan Tata Usaha Negara Dalam Upaya Terhadap Penolakan Pendaftaran Merek ?
Keputusan Banding Merek adalah bersifat final. Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 menghendaki masalah permintaan pendaftaran merek selesai sampai dikeluarkannya keputusan dari Komisi Banding Merek. Pihak yang ditolak permintaan bandingnya harus di anggap menerima keputusan meskipun ia merasa tidak puas dengan keputusan itu.
Meskipun demikian Komisi Banding Merek adalah Badan Tata Usaha Negara karena itu keputusan Komisi Banding Merek masih di mungkinkan untuk digugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
Lalu keputusan yang bagaimanakah yang dapat digugat melalui PTUN itu? Dalam Undag-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terutama pasal 53 ayat (2) telah menentukan Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat, untuk dinyatkan batal atau tidak sah, dengan alasan-alasan sebagagi berikut :
-          Keputusan Tata Usaha Negara itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-          Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dalam ayat (1) telah mengguanakan wewenangnya untuk tujan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
-          Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimasud dalam ayat (1), setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut.
Setelah mengetahui alasan-alasannya maka untuk dapat menggugat keputusan Komisi Banding Merek ke Peradilan Tata Usaha Negara harus memenuhi salah satu alasan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1986 di atas.
Jadi kesimpulannya pihak yang merasa dirugikan masih dapat mengugat keputusan Komisi Banding Merek ke Peradilan Tata Usaha Negara jika ada alasan untuk itu.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Plagiarisme akan tetap ada karena perubahan dinamika sosial dan kemajuan teknologi.
2.      Faktor-faktor penyebab kemiripan merek adalah sebagai berikut :
·         Mengangkat nilai jual suatu barang dengan meniru produk lain yang sejenis untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
·         Lemahnya aturan mengenai merek dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek khususnya penafsiran terhadap pasal 6 ayat (1) sehingga memberikan kesempatan kepada setiap orang atau badan usaha untuk meniru produk lain yang sejenis.
·         Lemahnya kesadaran untuk mendaftarkan merek hasil karya atau produksi.
·         Lemahnya kesadaran hukum masyarakat untuk menghargai merek hasil karya orang lain.
3.      pihak yang merasa dirugikan masih dapat mengugat keputusan Komisi Banding Merek ke Peradilan Tata Usaha Negara jika ada alasannya sesuai dengan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1986.

B.     Saran
Sebagai mahasiswa hendaknya menambah wawasan dan menyebarkan informasi tentang pentingnya perlindungan HAKI khususnya pada bidang Merek.



DAFTAR PUSTAKA


Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin. 2005. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Sudargo Gautama. 1995. Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual. PT.Eresco: Bandung.
Agung Sudjatmiko. 2000. Perlindungan Hukum Hak Atas Merek. Yuridika, Vol. 15 No. 5 September-Agustus: Jakarta.
S. Kayatmo, 1999, Hakekat dan Manfaat Perlindungan Hak Merek Prosedur Pendaftaran dan Perolehan Haknya. Jakarta.
Undang-Undang No. 15 tahun 2001 Tentang Merek.

Jaminan Perorangan/Penanggungan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pengertian jaminan berasal dari kata jamin yang berrarti tanggung, sehingga jaminan dapat di  artikan sebagai tanggungan. Dalam hal ini yang di maksud adalah tanggungan atas segala perikatan dari seseorang seperti yang di tentukan dalam pasal 1131 KUHPerdata maupun tanggungan atas perikatan tertentu seperti yang diatur dalam pasal 1139 – 1149 (Piutang yang Diistemewakan), pasal 1150 – 1160 (Gadai), pasal 1162 – 1178 (Hipotek), pasal 1820 – 1850 (Penanggungan Utang), dan akhirnya seperti yang di tetapkan oleh yurisprudensi ialah Fidusia. Tanggumgan atas segala perikatan seseorang di sebut jaminan secara umum sedangkan tanggungan atas perikatan tertentu dari seseorang di sebut jaminan secara khusus.
Jaminan khusus seperti yang di maksud di atas lazimnya di namakan jaminan kebendaan. Selain jaminan kebendaan, KUHPedata mengenal jaminan orang atau   penanggungan utang (borgtocht). Penanggungan utang ini selalu di adakan antara Kreditur dan pihak ke tiga dalam perjanjian dengan nama pihak ketiga guna kepentingan Kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya bila mana Debitur sendiri tidak memenuhinya, demikian dikatakan oleh pasal 1820 KUHPerdata. Oleh karena, penanggungan utang ini di adakan untuk kepentingan Kreditur, maka penanggungan utang dapat di adakan baik dengan sepengetahuan Debitur maupun tidak, demikian dikatakan oleh pasal 1823 KUHPerdata. Dengan mengadakan perjanjian penanggungan utang ini, bila mana Debitur lalai memenuhi perikatannya maka Kreditur dapat menuntut pihak penanggung, tanpa mengurangi pihak penanggung untuk menuntut agar barang-barang Debitur di sita terlebih dahulu dan di jual untuk melunasi utangnya.
Penanggungan utang ini tidak mengubah atatus Kreditur sebagai Kreditur Kongkuren, sehingga dalam hal terdapat banyak Kreditur terhadap Debitur ataupun penangggungan dan harta kekayaannya tidak mencukupi untuk melunasi utang, maka berlaku cara pembayaran seperti yang di atur dalam pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Dilihat dari akibat yang demikian itu tentu saja penanggungan utang ini tidak begitu di sukai oleh Kreditur yang menghendaki jaminan pembayaran kembali bagi piutangnnya.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas rumusan masalah yang diambil oleh penulis adalah sebgai berikut:
1.      Bagaimanakah sifat dan bentuk perjanjian jaminan perorangan/penanggungan?
2.      Apa Hak penanggung terhadap kreditur serta hak penanggung terhadap debitur?
3.      Berapakah jenis-jenis jaminan perorangan/penanggungan?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui sifat dan bentuk perjanjian jaminan perorangan/penanggungan.
2.      Untuk mengetahui hak penanggung terhadap kreditur serta hak penaggung terhadap debitur.
3.      Untuk mengetahui jenis-jenis jaminan perorangan/penanggungann?

D.    Manfaat
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktisi, sebagai berikut:
  1. Secara teoritis, makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan kajian lebih lanjut tentang jaminan perorangan/penanggungan serta dapat memberi manfaat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum secara umum dan hukum jaminan secara khusus.
  2. Secara praktisi, makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat yang akan membuat perjanjian jaminan perorangan/penanggungan.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sifat Perjanjian Penanggungan dan Bentuk Perjanjian Penanggungan
Sifat Perjanjian Penanggungan ada beberapa, yaitu: 
1.      Merupakan jaminan yang bersifat perorangan, yaitu adanya pihak ketiga (badan hukum) yang menjamin pemenuhan prestasi manakala Debiturnya wanprestasi. Pada jaminan yang bersifat perorangan demikian pemenuhan prestasi hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang tertentu, yaitu Debitur atau penanggungnya.
2.      Bersifat accesoir, yakni perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya. Perjanjian penanggungan akan batal demi hukum atau hapus jika perjanjian pokok juga batal demi hukum atau hapus. 
3.      Untuk perjanjian yang dapat dibatalkan, perjanjian accesoirnya tidak ikut batal meskipun perjanjian pokoknya dibatalkan. 
-   misalnya Perjanjian Pokok dibuat oleh orang yang tidak cakap, sehingga dapat dibatalkan dan bila hal ini terjadi maka perjanjian penanggungannya dianggap tetap sah.
4.      Bersifat sepihak dimana hanya penanggung yang harus melaksanakan kewajiban, tetapi adakalanya Kreditur menawarkan suatu prestasi sehingga pihak ketiga mau menjadi penanggung dan dalam keadaan demikian perjanjian bersifat timbal balik.
5.      Besarnya penanggungan tidak akan melebihi besarnya prestasi/perutangan pokoknya tetapi boleh lebih kecil. Jika penanggung lebih besar maka yang dianggap sah hanya yang sebesar utang pokok (Pasal 1822 BW). 
6.      Bersifat subsidiair, jika ditinjau dari sudut cara pemenuhan prestasi. Hal ini berdasarkan Pasal 1820 BW bahwa penanggung mengikatkan diri untuk memenuhi perutangan Debitur manakala Debitur sendiri tidak memenuhinya. Ini berarti penanggung hanya terikat secara subsidiair karena hanya akan melaksanakan prestasi jika Debitur tidak memenuhinya sedang Debitur yang harus tetap bertanggung jawab atas pelaksanaan prestasi tersebut dan setelah penanggung melaksanakan prestasi maka ia mempunyai hak regres terhadap Debitur.
7.      Beban pembuktian yang ditujukan ke si berutang dalam batas-batas tertentu juga mengikat si penanggung.
8.      Penanggungan diberikan untuk menjamin pemenuhan perutangan yang timbul dari segala macam hubungan hukum baik yang bersifat perdata maupun yang bersifat hukum publik, asalkan prestasi tersebut dapat dinilai dalam bentuk uang. 
Bentuk perjanjian penanggungan menurut ketentuan undang-undang, adalah bebas tidak terikat oleh suatu bentuk tertentu, bisa lisan atau tertulis yang dituangkan dalam suatu akta. Namun untuk kepentingan pembuktian maka pada prakteknya umumnya dibuat dalam bentuk tertulis, seperti dengan akta notaris atau formulir baku dari bank. Perjanjian penanggungan harus dinyatakan secara tegas tidak boleh secara tersirat oleh penanggung atas hal-hal apa saja yang akan ditanggungnya. Hal ini gunanya agar penanggung terlindung atas tanggung jawab terhadap hal-hal lain yang tidak ditanggungnya.
Fungsi dari Akta Penanggungan ini adalah :
-   Sebagai alat pembuktian tentang adanya penanggungan tersebut oleh penanggung;
-   Memuat ketentuan-ketentuan ataupun janji yang mengatur perjanjian penanggung tersebut.

B.     Yang Dapat Menjadi Obyek Penanggungan
Yang dapat menjadi obyek penanggungan adalah sebagai berikut :
1.      Pelaksanaan Perjanjian Pokoknya, yang berupa :
-   Pelunasan hutang yang berupa uang, maksimum sebesar utang pokoknya. Bisa lebih kecil dari utang pokok tapi tidak bisa lebih besar. Jika diperjanjikan lebih besar dari utang pokok maka menurut Pasal 1822 BW, yang sah hanya sebesar uang pokoknya saja sedangkan sisanya bisa saja penanggung tidak usah membayarnya 
-   Prestasi yang tidak berwujud uang maka dapat diberikan dengan menilai prestasi tersebut dengan uang.
-   Prestasi berupa melaksanakan pekerjaan, mis. dalam penanggungan pembangunan, menanggung menyelesaikan pekerjaan atau perbaikan-perbaikan pada rumah sewa. 
2.      Pelaksanaan dari akibat Perjanjian Pokoknya (Penanggungan tak terbatas), mis. biaya-biaya gugatan pada Kreditur, segala biaya untuk memperingatkan penanggung agar melaksanakan kewajibannya (pasal 1825 BW).

C.    Macam-Macam Penanggung
Untuk menjamin pemenuhan suatu perjanjian pokok maka adalah kalanya dalam perjanjian penanggungan ada beberapa penanggung, yaitu :

1.      Penanggung Utama (hoofdborg) dan Penanggung Belakang (achterborg). 
Penanggung Utama (hoofdborg) berfungsi untuk menanggung Debitur memenuhi kewajibannya sedangkan Penanggung Belakang (achterborg), berfungsi untuk menanggung Penanggung Utama memenuhi kewajibannya.  Jika Penanggung Belakang telah memenuhi seluruh kewajiban debitur maka ia mempunyai hak menuntut kembali pembayaran (hak regres) tersebut pada si Penanggung Utama tidak bisa langsung ke Debitur karena Penanggung Belakang tidak mempunyai hak regres terhadap Debitur.  Penanggung Utama yang telah memenuhi seluruh kewajiban Debitur maka ia mempunyai hak regres pada Debitur tetapi tidak terhadap Penanggung Belakang. 

2.      Penanggung Pertama dan Penanggung Kedua
Penanggung Pertama dan Kedua bersama-sama mengikatkan diri selaku penang-gung dari suatu hutang, dimana untuk pemenuhan prestasinya maka pihak Kreditur harus menuntut pada Penanggung Pertama terlebih dahulu. Jika Penanggung Pertama tidak mampu memenuhi prestasi tersebut maka Kreditur baru boleh menuntut pada penanggung kedua. Jika Penanggung Pertama telah memenuhi prestasi tersebut maka ia hanya mempunyai hak regres pada Debitur tidak pada Penanggung Kedua. Demikian pula jika Penanggung Kedua telah memenuhi prestasi tersebut maka ia mempunyai hak regres baik pada Debitur maupun pada Penanggung Pertama.

3.      Penanggung Solider 
Penanggung solider adalah penanggung yang mengikatkan dirinya bersama-sama dengan Debitur untuk pemenuhan suatu prestasi secara tanggung menanggung. Kreditur dapat langsung menuntut pemenuhan prestasi pada debitur maupun pada penanggung terlebih dulu dari Debitur untuk memenuhi prestasi tersebut. Jadi kedudukan penanggung dengan debitur setara.

4.      Penanggung atas Pemecahan Pemenuhan Prestasi
Beberapa penanggung yang mengikatkan diri untuk bersama-sama melakukan pemenuhan prestasi dari satu Debitur yang sama. Meskipun diatur dalam Pasal 1836 BW bahwa jika beberapa orang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk seorang Debitur dan untuk utang yang sama, maka masing-masing penanggung terikat untuk seluruh hutang tersebut tetapi masing-masing penanggung berhak untuk menuntut agar Kreditur membagi-bagi terlebih dahulu piutangnya sehingga masing masing penanggung hanya menanggung sebagian hutang Debitur tersebut. Tuntutan pemecahan hutang ini harus diajukan pada saat mereka digugat untuk pertama kalinya dimuka Hakim dan sebelum melakukan pembayaran, masing-masing penanggung berhak menuntut Kreditur untuk melakukan pemecahan piutangnya tersebut. Jika tidak dilakukan hal ini maka ketentuan Pasal 1836 BW yang berlaku yakni jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penanggung untuk seorang Debitur dan untuk hutang yang sama, maka masing-masing penanggung terikat untuk seluruh hutang itu. Jika ada satu penanggung yang telah membayar utang tersebut maka ia dapat menuntut Debitur untuk mengembalikan pembayarannya (Hak Regres) sedangkan ia baru mempunyai hak regres terhadap penanggung-penanggung lainnya jika ia dinyatakan pailit atau digugat didepan pengadilan. 

D.    Hak Penanggung Terhadap Kreditur Serta Hak Penanggung Terhadap Debitur
Hak penanggung terhadap kreditur sebagai berikut:
1.      Hak untuk menuntut lebih dahulu
Berdasarkan Pasal 1831 BW, Penanggung berhak untuk menuntut agar harta benda si Debitur disita dan dijual/dilelang terlebih dahulu untuk melunasi utangnya. Kemudian jika tidak mencukupi barulah penanggung wajib membayar utang Debitur tersebut. Jadi disini penanggung baru akan bertindak sebagai Borg kalau barang-barang Debitur yang disita dan dijual belum mencukupi utangnya pada kreditur. Penyimpangan terhadap pasal ini dapat dilakukan jika :
a.       Telah diperjanjikan sebelumnya antara penanggung dengan kreditur bahwa penanggung akan melepaskan hak istimewanya untuk menuntut agar harta benda disita dan dijual terlebih dahulu baru ia melaksanakan kewajibannya sebagai penanggung. Umumnya perjanjian ini atas inisiatif kreditur supaya ia dapat langsung menuntut penanggung jika debiturnya wanprestasi.
b.      Hubungan Penanggung dengan Debitur adalah perutangan secara tanggung menanggung, sehingga hubungan ini tunduk pada perjanjian perutangan tanggung menanggung
c.       Jika si Debitur dapat mengajukan suatu tangkisan yang mengenai dirinya secara pribadi.
d.      Jika si Debitur dalam keadaan pailit.
e.       Jika penanggungan itu diperintah oleh hakim.

Umumnya dalam praktek senantiasa dibuat perjanjian untuk menyimpang dari Pasal 1831 BW ini, saking seringnya kebiasaan ini dilakukan dalam perjanjian maka kebiasaan ini (yaitu janji untuk melapaskan hak untuk menuntut terlebih dahulu) harus dianggap diam-diam telah tercantum dalam perjanjian penanggungan. Sedangkan apabila Pasal 1831 BW ini akan diterapkan maka harus secara tegas dicantumkan dalam perjanjiannya. Penanggung yang akan menuntut hak penjualan lebih dahulu harus menentukan barang-barang yang mana dari Debitur yang akan dijual terlebih dahulu untuk membayar utangnya setelah membayar ongkos-ongkos untuk penyitaan dan penjualan. Penanggung tidak boleh menunjuk barang debitur yang dalam keadaan sengketa, barang-barang yang dibebankan Hak tanggungan atau barang yang tidak berada dalam kekuasaannya dan barang yang berada di luar wilayah Indonesia. 

2.      Hak untuk membagi utang
Menurut Pasal 1836 BW, jika dalam perjanjian penanggungan terdapat beberapa orang penanggung untuk suatu hutang dan untuk seorang Debitur maka masing-masing penanggung terikat untuk seluruh hutang dan dalam Pasal 1837 BW dikatakan bahwa Kreditur mempunyai hak untuk membagi piutangnya atas bagian-bagian ke masing-masing penanggung pada saat penanggung-penanggung ini digugat. Sebenarnya kedua ketentuan ini saling bertentangan karena disatu pihak menentukan bahwa masing-masing penanggung terikat untuk seluruh hutang namun dipihak lain memberi hak kepada Kreditur untuk membagi-bagi piutangnya kepada masing-masing penanggung atas bagian-bagian tertentu untuk dipertanggung jawabkan oleh masing-masing penanggung. Dalam kenyataannya dilapangan, hak ini selalu diperjanjikan untuk dikesampingkan atau penanggung harus melepaskan hak ini sehingga yang terjadi adalah perutangan tanggung menanggung antara para penanggungnya. Oleh karena itulah maka terhadap perjanjian penanggungan ini berlaku juga ketentuan mengenai perutangan tanggung menanggung, yaitu :
-   Pasal 1280 BW, bahwa masing-masing debitur dapat dituntut untuk seluruh utang dan pemenuhan utang oleh salah seorang debitur akan membebaskan debitur-debitur lainnya terhadap piutang kreditur.
-   Pasal 1283 BW, bahwa jika salah satu debitur yang ditagih oleh kreditur maka tidak ada kemungkinan bagi debitur ini untuk meminta agar hutangnya dipecah. 
-   Pasal 1284 BW, bahwa tuntutan yang telah dilakukan ke salah seorang debitur tidak menutup kemungkinan kreditur untuk menuntut pembayaran lagi ke debitur lainnya, sepanjang belum ada pelunasan utang tersebut. Tetapi jika Kreditur yang sendiri ingin memecahkan piutangnya atas bagian-bagian untuk penanggung maka ia tidak dapat menarik kembali pemecahan itu meskipun ternyata bahwa diantara beberapa penanggung tersebut telah berada dalam keadaan tidak mampu pada saat ia memecah piutangnya tersebut. Hal ini juga berlaku pada perutangan tangung menanggung pasif (debiturnya lebih dari satu orang).

3.      Hak untuk mengajukan tangkisan gugat
Si penanggung untuk menolak melaksanakan kewajibannya dapat menggunakan alasan-alasan yang telah dikemukakan oleh debitur kepada kreditur, kecuali alasan yang menyangkut pribadi debitur sendiri. Jadi tangkisan-tangkisan yang dikemukakan atau yang digunakan oleh Debitur kepada Kreditur karena tidak melaksanakan prestasi (menyangkut perjanjian pokoknya) dapat pula digunakan oleh penanggung terhadap kreditur. Misalnya pada perjanjian pokoknya, Debitur tidak mengembalikan pinjamannya ke kreditur karena kreditur sendiri juga ada pinjaman pada debitur. Maka alasan ini dapat digunakan pula oleh penanggung untuk tidak melaksanakan kewajibannya terhadap kreditur. Sedangkan jika alasan yang diajukan oleh debitur menyangkut pribadinya maka hal ini tidak bisa dijadikan alasan juga oleh penanggung.

4.      Hak untuk diberhentikan dari penanggungan karena terhalang melakukan subrogasi akibat perbuatan kesalahan Kreditur
Dalam Pasal 1848 BW, dikatakan bahwa penanggung berhak untuk diberhentikan dari penanggungan jika karena perbuatan Kreditur sipenanggung menjadi terhalang atau tidak dapat lagi bertindak terhadap hak-haknya, hak tanggungannya dan hak-hak utama dari kreditur. Penanggung yang telah membayar utang Debitur ke Kreditur secara hukum akan menggantikan kedudukan Kreditur tersebut terhadap Debitur. Jika hal ini tidak terlaksana karena kesalahan dari Kreditur sendiri maka akibatnya penanggungan akan diberhentikan sebagai penanggung dan perjanjian penanggungan akan batal. Dalam praktek hal ini bisa terjadi karena jika Debitur melakukan wanprestasi maka Kreditur akan lebih mengutamakan menjual barang jaminannya diluar jaminan perorangan terlebih dahulu. Kalau hasil penjualan ini belum cukup barulah Kreditur akan menuntut penanggung, jadi tidak langsung menuntut ke penanggung. Tindakan Kreditur inilah yang dianggap dapat merugikan penanggung karena dengan dijualnya benda-benda yg dijadikan jaminan hutang, si penanggung menjadi tidak terjamin dengan benda-benda jaminan itu, yang akan beralih karena kepadanya karena subrogasi, jika ia membayar utang Debitur nantinya. Oleh karena itulah ia dianggap berhak dihentikan sebagai penanggung, melepaskan diri dari penanggungan. Ini kalau ditinjau dari segi kepentingan si Kreditur tentu sangat memberatkan sebab itu dalam prakteknya diperbankan hak ini selalu diperjanjikan secara tegas tercantum dalam akta penanggunga agar si penanggung melepaskan hak demikiannya. 

Hak penanggung terhadap debitur sebagai berikut:
Penanggung yang telah melakukan pembayaran utang Debitur baik secara suka rela atau karena putusan hakim yang mengharuskan atau menghukum penanggung untuk membayar, dengan sepengetahuan maupun tanpa sepengetahuan mempunyai hak-hak sebagai berikut :
1.      Hak Regres atau hak menuntut kembali, yaitu hak untuk menuntut Debitur mengganti pembayaran yang telah dilakukan (Pasal 1839 BW).
Hak Regres yang dituntut dapat berupa :
-   Hutang pokok, bunga maupun biaya-biaya yang timbul.
-   Penggantian kerugian (yang berupa biaya, kerugian dan bunga) jika ada alasan untuk itu.
Hak regres ini merupakan hak Penanggung sendiri, sehingga Penanggung juga bisa menuntut pengembalian lain disamping utang pokok dan bunga dari debitur. Hak Regres ini meliputi juga:
-   Pembayaran ongkos perkara, yaitu ongkos perkara yang telah dibayar oleh penggugat karena dia digugat oleh Kreditur untuk memenuhi hutang Debitur. Penanggung hanya dpt menuntut pembayaran ongkos perkara kepada debitur jika ia memberitahukan tentang adanya gugat dari Kreditur terhadapnya tidak terlambat.
-   Pembayaran bunga, yaitu bunga terhadap hutang pokok yg telah dibayar oleh Penanggung.
-   Pembayaran kerugian. Penanggung berhak untuk menuntut pengganti kerugian yang lain yang dideritanya sebagai akibat pemenuhan perutangan dalam penanggungan. Misalnya kerugian-kerugian yang timbul karena adanya penyitaan, penjualan terhadap benda penanggung oleh si Kreditur. 
2.      Menggantikan semua kedudukan Kreditur jika Penanggung telah melakukan pembayaran utang Debitur pada Kreditur. (Pasal 1840 BW). Sebagai pengganti kedudukan Kreditur karena subrogasi, Penanggung tidak mempunyai hak menuntut penggantian kerugian seperti pada Hak Regres. Penanggung hanya memperoleh hak-hak kreditur terhadap si Debitur, termasuk jaminan-jaminan accesoir yang melekat pada hak kreditur yang diganti. Hak-hak yang ikut beralih dari Kreditur ke Penanggung yang telah melunasi utang Debitur pada Kreditur karena subrogasi adalah hak-hak jaminan yang diadakan untuk menjamin dipenuhinya perutangan pokok yang berupa :
-   Hak Tanggungan yang diberikan kepada Kreditur sebagai jaminan, yaitu mempunyai hak untuk menjual benda jaminan atas kekuasaan sendiri (karena telah diperjanjian untuk menjual atas kekuasaan sendiri), berwewenang untuk mendapat pemenuhan hutang didahulukan dari kreditur yg lain (Hak Voorrang) dari hasil penjualan tersebut. Kreditur harus menyerahkan akta Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan ke Penanggung. Pengalihan dalam Hak Tanggungan dari Kreditur ke Penanggung (subrogasi) harus dituangkan dalam bentuk akta otentik/akta notaris dan harus didaftarkan dalam sertifikat tesebut ke Badan Pertanahan.
-   Hak Gadai sebagai jaminan hutang yakni penanggung mempunyai kewenangan untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri, wewenang untuk mendapat pemenuhan yang didahulukan (Hak Voorrang).
-   Hak Privilege, yaitu piutang yang didahulukan pemenuhannya sesuai dengan sifat piutangnya. Juga ikut beralih ke penanggung, misalnya penanggung menanggung dipenuhinya uang sewa maka jika ia telah membayar uang sewa ia mempunyai hak voorang atas benda perabot rumah tersebut.
-   Jaminan Fidusia juga ikut beralih jika kreditur yang diganti tersebut mempunyai jaminan fidusia dengan ketentuan bahwa hak milik atas objek jaminan itu otomatis akan kembali ke Debitur setelah Debitur melunasi hutangnya ke Penanggung.

Peralihan status Penanggung menjadi pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Gadai atau Pemegang Hak Privilege itu mulai sejak dilakukannya pembayaran hutang oleh Penanggung, tanpa disyaratkan adanya tindakan-tindakan penyerahan khusus untuk itu.
Kedudukan Penanggung yang telah melunasi utang Debitur, sebagai pengganti Kreditur lebih tinggi atau lebih baik jika dibandingkan kedudukannya sebagai hak regres sendiri, karena kedudukan menggantikan Kreditur adalah merupakan Kreditur Preferen sedangkan kalau sebagai hak regres sendiri kedudukannya hanya sebagai Kreditur Konkuren. Jika penanggung melakukan pembayaran utang tanpa sepengetahuan Debitur dan Debitur tersebut juga melakukan pelunasan atas utangnya maka penanggung tidak mempunyai hak regres terhadap debitur, tetapi penanggung dapat menuntut pengembalian pada Kreditur (Pasal 1842:1 BW).

E.     Janji-Janji Dalam Perjanjian Penanggungan
Dalam prakteknya, perjanjian penanggungan selalu dibuat dalam bentuk tertulis, dituangkan dalam akta dibawah tangan, akta notaris atau tercantum dalam model-model tertentu dari Bank. Yang bertanda tangan dalam akta ini adalah Debitur dan penanggung sendiri yang kemudian diserahkan ke Kreditur. Sering pula perjanjian penanggungan ini dituangkan dalam bentuk perjanjian pengakuan hutang, yakni pengakuan hutang dari siberhutang utama (Debitur) maupun hutang dari si penanggung fungsi dari akta penanggungan adalah:
-   Sebagai alat pembuktian tentang adanya penanggungan tesebut oleh penanggung.
-   Memuat ketentuan-ketentuan atau janji-janji yang mengatur perjanjian penanggungan tersebut.
Janji-janji yang biasa dicantumkan atau diadakan dalam akta penanggungan adalah :
1.      Janji agar penanggung melepaskan haknya untuk menuntut penjualan harta benda Debitur terlebih dahulu.
2.      Janji penanggung melepaskan haknya untuk membagi-bagi hutang.
3.      Janji agar penanggung melepaskan haknya untuk diberhentikan dari penanggungan (Pasal 1848 BW).
4.      Janji untuk tidak dibagi.
Bahwa penanggungan terhadap para ahli waris Debitur tidak dapat dibagi-bagi. Jadi kreditur dapat menuntut kepada setiap pewaris untuk memenuhi utangnya. (masih sistem tanggung jawab renteng).
5.      Janji agar penanggungan tetap sah meskipun ada penanggung bersama ikut terikat.
Jika dalam akta penanggungan ada beberapa orang penanggungnya yang harus bertanda tangan dan kemudian ada salah seorang yang cacad tanda tangannya ini tidak menyebakban perjanjian penanggungan batal tetapi hanya terhadap penanggung yang cacad sedang yang lain tidak.
6.      Jadi Kreditur diberi kuasa oleh penanggung untuk melaksanakan hak regres terhadap Debitur.
Yang dimaksud hak regres adalah hak menuntut pembayaran kembali oleh penanggung pada Debitur karena telah melakukan pembayaran utangnya.

F.     Jenis-Jenis Perjanjian Penanggungan
1.      Jaminan hutang/jaminan kredit (kredit garansi)
Yang dimaksud jaminan hutang atau jaminan Kredit adalah bentuk penanggungan dimana seorang Penanggung (perorangan) menanggung untuk melunasi hutang Debitur sebesar sebagaimana tercantum dalam perutangan pokok. Kredit garansi dalam praktek perbankan biasa dikenal dengan istilah Personal Guaranty (jaminan perseorangan/orang). Penanggung berjanji atau mengikatkan diri kepada Kreditur bahwa ia akan melunasi hutang Debitur, baik karena memang ditunjuk oleh Kreditur maupun karena ia diajukan oleh Debitur.

2.      Jaminan Bank (Bank Garansi)
Jaminan Bank adalah bank yang bertindak sebagai penanggung jika prestasi yang diperjanjikan tidak dilakukan dengan baik oleh Debitur. Bank berhak memberikan garansi ini karena diatur dalam Pasal 6 (b) Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998. Bank Garansi terjadi jika bank selaku penanggung diwajibkan untuk menanggung pelaksanaan pekerjaan tertentu, atau menanggung dipenuhinya pembayaran tertentu kepada Kreditur. Bank Garansi diberikan untuk menanggung: 
a.       Uang muka.
b.      Ikut tender atau penawaran barang.
c.       Pelaksanaan pekerjaan.
d.      Pemeliharaan
e.       Pembayaran Uang Cukai Rokok
f.       Pembelian Barang Impor
Di Indonesia, jaminan atas penerbitan Bank Garansi ini umumnya adalah jaminan yang bersifat kebendaan atau kadang-kadang saldonya direkening yang diblokir. Sedang jika di Belanda, umumnya rekening pemohon Bank Garansi yang diblokir sebesar bank garansi yang diterbitkan. Masalah yang timbul akibat penerbitan Bank Garansi yang dijamin dengan memblokir saldo adalah jika debitur meninggal dunia, maka otomatis rekening Debitur tersebut harus ditutup. Ini berarti bank tidak bisa langsung mendebet lagi rekening debitur. Demikian pula jika Debiturnya jatuh pailit. Oleh karena itu dalam prakteknya sering jaminan tersebut langsung dimasukkan ke rekening khusus oleh bank dan dibuat kontra garansi yang intinya menyatakan bahwa junlah uang itu akan diberikan ke bank sebagai jaminan untuk penuntutan kembali piutangnya (hak regres) kepada Debitur setelah bank memenuhi kewajibannya sebagai penanggung. 

3.      Jaminan Saldo (Saldo garansi)
Saldo garansi adalah bentuk perjanjian penanggungan dimana bank menjamin saldo yg akan ditagih dari Debitur oleh Kreditur pada waktu penutupan rekening. Jadi saldo nasabah minimal jumlahnya harus sama besar dengan biaya administrasi untuk penutupan rekening. 

4.      Jaminan Pembangunan (Bouw garansi)
Perjanjian pembangunan yang dilakukan oleh suatu pemborong dijamian oleh pemborong lain. Maksudnya jika pemborong yang semula tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian maka pemborong yang jadi penanggungnya akan melanjutkan pekerjaannya hingga selesai, sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini jarang terjadi di Indonesia, kebanyakan hanya terjadi diluar negeri.

5.      Jaminan oleh lembaga pemerintah (Staats garansi)
Sama halnya dengan jaminan pembangunan maka jaminan oleh lembaga pemerintahan ini belum dikenal di Indonesia, yang ada hanya rekomendasi dari pemerintah atau lembaga pemerintah untuk melaksanakan suatu pekerjaan tetapi manakala pihak yang direkomendasi tesebut melakukan wanprestasi maka pihak pemerintah dalam hal ini yang merekomendir tidak bertanggung jawab.

G.    Perbedaan Antara Jaminan yang Bersifat Perorangan Dengan Jaminan yang Bersifat Kebendaan
Jaminan yang bersifat perorangan adalah jamian yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu dan hanya dapat dipertahankan terhadap Debitur tertentu atas harta kekayaan Debitur semuanya. Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang memiliki ciri-ciri :
-   Mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari Debitur;
-   Dapat dipertahankan terhadap siapa saja
-   Selalu mengikuti bendanya (droit de suite)
-   Dapat diperalihkan (mis. Hak Tanggungan, Gadai)
Dalam jaminan perorangan dikenal azas kesamaan (diatur dalam Pasal 1131, 1132 BW), artinya tidak membedakan kapan atau saat terjadinya piutang, semua kedudukan piutang ada sama terhadap kekayaan Debitur, tanpa membedakan urutan terjadinya piutang tersebut. Demikian pula jika terjadi kepailitan Debitur, maka pembayaran atas piutang dari hasil penjualan harta Debitur dibagikan secara seimbang besarnya piutang masing-masing kecualikan dalam perjanjian mereka ditentukan lain. Misal : - Piutang A = Rp. 10 jt,- ; B = Rp. 25 juta dan C = 35 juta; maka dari hasil penjualan harta Debitur akan dibagi seimbang antara A : B : C = 2 : 5 : 7. Sedangkan pada jaminan kebendaan dikenal dengan azas prioritas, artinya kdudukan hak kebendaan yang lebih dulu terjadi kedudukannya lebih diutamakan atau didahulukan dari kedudukan hak kebendaan yang terjadi belakangan. Jadi jika terjadi tubrukan atau pertemuan dua hak kebendaan atas benda yang sama maka berlakulah azas prioriteit, yaitu hak yang lebih dahulu terjadi dimenangkan dari hak yang terjadi belakangan. Mis. Hak tanggungan I lebih didahulukan pembayarannya terhadap hak tanggungan ke II. Jika Debitur pailit, Kreditur yang mempunyai hak kebendaan atas benda Debitur berada diluar kepailitan. Maksudnya hak kepailitan tersebut tetap ada (droit de suite) meskipun curator kepailitan menjual benda tersebut kepada orang lain. Sedangkan untuk pemegang hak tanggungan dan gadai tergolong separatist atas suatu benda, jika benda tersebut dijual maka hasil penjualannya harus diutamakan terlebih dahulu dari yang lain, untuk pembayaran atau melunasi utang pemegang hak tanggungan atau pemegang gadai tersebut.
Jika terjadi pertemuan atau tabrakan antara hak kebendaan dengan hak perorangan atas suatu benda yang sama maka yang didahulukan adalah hak kebendaan, tanpa melihat bahwa piutang mana yang terjadi lebih dahulu kecuali jika orang yang mempunyai hak kebendaan tersebut sendiri yang terikat oleh hak perorangan yang diadakannya. Mis.: A memiliki rumah, yang kemudian disewakan ke B untuk jangka waktu satu tahun. Kemudian A akan menjual rumah tersebut pada waktu masa sewa baru berlangsung lima bulan kepada C. Meskipun rumah tersebut telah beralih kepemilikannya tetapi perjanjian sewa menyewa atas rumah tersebut tidak berakhir sebelum jangka waktu sewanya berakhir. Hal ini disebabkan karena hak perorangan dan hak kebendaan atas benda yang sama dilakukan oleh orang yang sama.
Pada jaminan perorangan, Kreditur merasa terjamin karenan mempunyai lebih dari seorang Debitur yang dapat ditagih untuk memenuhi piutangnya maka pada jaminan kebendaan, Kreditur merasa terjamin karena mempunyai hak didahulukan (preferensi) dalam pemenuhan piutangnya atas hadil eksekusi terhadap benda-benda Debitur. Pada jaminan perorangan, Kreditur mempunyai hak menuntut pemenuhan piutang nya selain kepada debitur utama juga kepada penanggung atau Debitur lainnya. Hal ini dapat terjadi jika Kreditur mempunyai seorang penjamin (Borg) atau pihak ketiga yang mengikatkan diri secara tanggung menanggung dalam Debitur.
Hal ini dapat terjadi karena 2 hal, yaitu:
-   Sengaja diperjanjikan, yakni jika ada perjanjian penanggungan (borgtocht) atau perjanjian tanggung menanggung secara pasif.
-   Berdasarkan undang-undang, yakni undang-undang telah menentukan atau menetapkan bahwa pihak ketiga juga terikat secara perorangan terhadap Kreditur untuk memenuhi perutangan. Mis. Pasal 18 KUHD, bahwa para pesero fima terikat atas prestasi yang dibuat atas nama firma tersebut. Pasal 108 (1) KUHD, Penerbit menanggung atas akseptasi dan pembayaran (umpama: Sertifikat Deposito).
Pada Jaminan kebendaan, Kreditur mempunyai hak untuk didahulukan pemenuhan prestasinya terhadap pembagian hasil eksekusi benda-benda tertentu dari Debitur. Apabila hasil eksekusi benda tertentu tersebut belum mencukupi piutang Kreditur maka Kreditur itu dapat bersama dengan Kreditur-kreditur lainnya (Kreditur Konkuren) untuk meminta pemenuhan sisa prestasi yang belum lunas. Dalam hal ini kedudukan Kreditur pemegang hak kebendaan tersebut disamakan dengan kedudukan Kreditur Konkuren.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Sifat dan bentuk jaminan perorangan/penanggungan
a.       Sifat jaminan perorangan/penanggungan:
-   Merupakan jaminan yang bersifat perorangan.
-   Bersifat accesoir.
-   Untuk perjanjian yang dapat dibatalkan, perjanjian accesoirnya tidak ikut batal meskipun perjanjian pokoknya dibatalkan.
-   Bersifat sepihak dimana hanya penanggung yang harus melaksanakan kewajiban, tetapi adakalanya Kreditur menawarkan suatu prestasi sehingga pihak ketiga mau menjadi penanggung dan dalam keadaan demikian perjanjian bersifat timbal balik.
-   Besarnya penanggungan tidak akan melebihi besarnya prestasi/perutangan pokoknya tetapi boleh lebih kecil.
-   Bersifat subsidiair, jika ditinjau dari sudut cara pemenuhan prestasi.
-   Beban pembuktian yang ditujukan ke si berutang dalam batas-batas tertentu juga mengikat si penanggung.
-   Penanggungan diberikan untuk menjamin pemenuhan perutangan yang timbul dari segala macam hubungan hukum baik yang bersifat perdata maupun yang bersifat hukum publik, asalkan prestasi tersebut dapat dinilai dalam bentuk uang. 

b.      Bentuk jaminan perorangan/penanggungan
Bentuk perjanjian penanggungan menurut ketentuan undang-undang, adalah bebas tidak terikat oleh suatu bentuk tertentu, bisa lisan atau tertulis yang dituangkan dalam suatu akta, namun untuk kepentingan pembuktian maka pada prakteknya umumnya dibuat dalam bentuk tertulis.

2.      Hak penanggung terhadap kreditur dan hak penaggung terhadap debitur
a.       Hak penanggung terhadap kreditur
-   Hak untuk menuntut lebih dahulu
-   Hak untuk membagi utang
-   Hak untuk mengajukan tangkisan gugat
-   Hak untuk diberhentikan dari penanggungan karena terhalang melakukan subrogasi akibat perbuatan kesalahan Kreditur
b.      Hak penanggung terhadap debitur
-   Hak Regres atau hak menuntut kembali, yaitu hak untuk menuntut Debitur mengganti pembayaran yang telah dilakukan (Pasal 1839 BW).
-   Menggantikan semua kedudukan Kreditur jika Penanggung telah melakukan pembayaran utang Debitur pada Kreditur. (Pasal 1840 BW).

3.      Jenis-jenis jaminan perorangan/penanggungan
-   Jaminan hutang/jaminan kredit (kredit garansi)
-   Jaminan Bank (Bank Garansi)
-   Jaminan Saldo (Saldo garansi)
-   Jaminan Pembangunan (Bouw garansi)
-   Jaminan oleh lembaga pemerintah (Staats garansi)

B.     Saran

Sebagai mahasiswa hendaknya menjadikan makalah ini untuk menambah wawasan dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum jaminan pada khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

·         Kashadi. 2000. Hukum Jaminan. Semarang: UNDIP
·         Sri Soedewi Masjchoen Sofwan.1980. Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-pokok Hukum jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty
·         Salim. 2007. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
·         Oey hoey tiong. 1984.Fidusia sebagai jaminan unsur-unsur perikatan. Jakarta: Ghalia Indonesia
·         Ilmuhukum.blogspot.com (diakses tanggal 30 Desembar 2013)
·         Kitab Undang-Undang Hukum Perdata