BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Banyak hal yang
didapatkan dari merek-merek terkenal terutama dalam hal ekonomi. Keuntungan
dalam bentuk materi akan mudah didapatkan dengan cara yang instan. Dimana pada
saat ini bayak sekali kasus yang numpang / nebeng dengan merek
terkenal agar dapat mendongkrak keuntungan dan poularitas sebuah merek yang
kurang mendapat perhatian dari konsumen. Banyak merek yang kelihatannya seperti
merek aslinya tetapi sebenarnya tidak palsu yang sering disebut dengan aspal
(asli tapi palsu).
Banyak alasan saat ini
mengapa tindakan pemanfaatan merek-merek terkenal dilakukan, diantaranya adalah
sebagai berikut :
1.
Agar mudah dipasarkan mudah untuk bertransaksi jual beli.
2.
Tidak perlu mengurus nomor pendaftaran ke Dirjen HKI .
3.
Mengurangi pengeluaran untuk untuk membangun citra produknya (brand
image).
4.
Tidak perlu membuat divisi riset dan pengembangan untuk dapat
menghasilkan produk yang selalu up to date.
Jika hanya dipandang
dari segi ekonomi memang pemanfaatan merek akan memberi dampak luar biasa untuk
meraup keuntungan serta popularitas sebuah merek yang baru seumur jagung.
Tiba-tiba dengan cara yang gampang sudah menjadi konsumsi dimasyarakat.
Kenyataan ini memang tidak bisa disangkal karena fakta dilapangan, dimana
msyarakat memiliki kriteria untuk mengkonsumsi suatu produk. Salah satu dari
kriteria tersebut melihat merek sebuah produk kemudian baru membelinya.
Dengan berbagai kasus
yang sudah beranak pinak di tengah masyarakat ini membuat banyak merek yang
di jiplak / contek. Baik dari segi bentuk, ukuran, warna, desain,
tulisan, penyebutan, gambar dan masih banyak lagi. Meski sudah dibuat regulasi
yang mengatur mengenai hal ini. Namum tetap saja plagiarisme masih melekat di
kehidupan masyarakat terutama dibidang perdagangan yang memang sangat erat
dengan merek. Sudah banyak merek yang mengalami penolakan dan tidak memenuhi
syarat untuk didaftarkan. Karena banyaknya merek kembar tetapi beda yang ditemukan ditengah masyarakat.
Ternyata fakta yang ada
menunjukkan tidak hanya dalam merek yang berada dalam negeri. Kesamaan antara
merek dalam negeri dengan mereka diluar negeri juga dimungkinkan terjadi.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Mengapa kasus plagiarisme bisa dan masih tetap terjadi?
2.
Apa saja faktor-faktor penyebab
kemiripan merek?
3. Apakah
Sengketa Merek Dapat di Ajukan ke PTUN Dalam Upaya Terhadap Penolakan
Pendaftaran Merek?
C.
Tujuan
Berdasarkan
latar belakang di atas maka tujan yang ingin di capai dalam makalah ini adalah untuk
mengetahui alasan mengapa masih marak terjadi kasus plagiarism, faktor apa yang
mnyebabkan kesamaan merek dan bagagaimana upaya yang dapat dilakukan terhadap
penolakan permintaan pendaftaran merek
D.
Manfaat
1. Bagi
mahasisiwa, dapat menambah pengetahuan tentang plagiarisme dan kemiripan merek.
2. Bagi
masyarakat, agar mengetahui pentingnya perlindungan terhadap merek.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Plagiarisme
Pemakaian sebuah merek
tidak hanya sebatas untuk meraup keuntungan. Merek memiliki tujuan lain yang
tidak hanya bisa dipandang dari segi ekonomi. Merek juga memiliki peran untuk
memperlancar kegiatan perdagangan barang atau jasa untuk melaksanakan
pembangunan. Untuk diperlukan perlindungan merek agar tidak membuat aktifis plagiarisme semakin
gencar dengan praktek kotornya. Karena pada dasarnya perlindungan merek tidak
hanya untuk kepentingan pemilik merek saja akan tetapi juga untuk kepentingan
masyarakat luas sebagai konsumen.
Tidak hanya terjadi di
Indonesia masalah mengenai perlindungan merek juga marak terjadi diberbagai
negara. Keuntungan yang didapatkan dengan cara yang tidak sulit mendorong sebuh
merek untuk ditiru atau numpang tenar layaknya seorang artis. Peniruan merek
terkenal marak terjadi memang dilandasi oleh “itikad tidak baik”. Semata-mata
tujuannya hanyalah materi, memperoleh keuntungan dengan nebeng dengan
popularitas sebuah merek. Perlakuan yang seperti ini memang tidak seharusnya
dan tidak selayaknya untuk mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan
terhadap merek terkenal dapat dilakukan dengan berbagai cara. Selain dibutuhkan
respon serta inisiatif pemilik merek, dapat juga dilakukan oleh kantor merek
dengan menolak permintaan pendaftaran merek yang sama atau mirip dengan merek
terkenal.
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan yaitu :
1.
Tidak mengatur definisi dan kriteria merek terkenal.
2.
Penolakan atau pembatalan merek, atau larangan penggunaan merek
yang merupakan reproduksi, tiruan atau terjemahan yang dapat menyesatkan atas
suatu barang atau jasa yang sama atau serupa apabila perundang-undangan negara
tersebut mengatur atau permintaan suatu pihak yang berkepentingan.
3.
Gugatan pembatalan dapat diajukan sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun dari pendaftaran, namun tidak ada jangka waktu apabila pendaftaran itu
dilakukan dengan itikad tidak baik.
Tak perlu pergi jauh untuk mengkaji kasus plagiarisme.
Di kampus cukup marak kasus plagiarisme terutama yang dilakukan mahasiswa
strata satu. Mulai dari mahasiswa yang menyontek pekerjaan rumah, melihat
jawaban ujian teman, menyalin habis-habisan laporan praktikum, hingga membuat
karya tulis bodong. Kasus di kampus kita lebih mengkhawatirkan ketimbang kasus
plagiarisme yang terjadi di Harvard atau di ITB, mengingat bisa saja pelakunya
teman kita sendiri.
Banyak hal yang telah dilakukan oleh pihak dosen,
dekanat, maupun asisten untuk menekan kasus plagiarisme. Sayangnya jika
ditilik, seringkali solusi yang diajukan sudah obsolete. Terkadang
solusi tersebut juga belum mengakar pada permasalahan pokok.
Kemungkinan
yang menyebabkan timbulnya plagiarisme adalah tenaga pengajar yang kerap
kali tidak membaca tugas mahasiswa dengan sungguh-sungguh. Selain itu ada juga
tenaga pengajar yang tidak peduli dengan kasus plagiarisme. Misalnya jika
seorang mahasiswa menyalin habis-habisan pekerjaan rumah dari solusi manual,
ada saja tenaga pengajar yang senang karena hal itu justru memudahkan
pekerjaannya. Ada juga kasus sang pengajar tidak membaca tugas mahasiswanya
sungguh-sungguh dengan dalih kesibukan. Hal ini menyebabkan banyak tugas yang
lolos dari saringan plagiarisme. Jika kasusnya seperti ini, pengajar harus
bertindak tegas. Caranya dengan mulai subyektif dalam menilai tugas. Kemudian
ke depannya, mulai berani memberi nilai buruk untuk tugas hasil plagiat.
Namun seringkali sang
dosen sudah galak, memberikan nilai jelek untuk karya plagiat, tetapi mahasiswa
tidak kapok melakukan plagiat. Akhirnya muncullah ide mewajibkan menulis tangan
pada setiap tugas. Alternatif ini dijalankan supaya kalau toh si mahasiswa itu
melakukan plagiat, dia masih menulisnya dengan usaha sendiri. Sebab kalau
diketik, bisa jadi mahasiswa hanya copy-paste pekerjaan
milik temannya. Mengumpulkan tugas dalam bentuk lunak juga memperbesar
terjadinya plagiat dari situs di internet.
Solusi tersebut
seringkali hanya efektif di awal saja. Seiring berjalannya waktu, plagiat tetap
saja terjadi, bahkan terjadi lebih parah. Mungkin mahasiswa berpikir, daripada
capek-capek mikir dan
nulis, lebih baik capek menulis saja. Kalau sudah begini yang serius
mengerjakan tugas akan merasa dirugikan. Kewajiban menulis tugas dengan tangan
(terutama yang panjang dan memakan waktu) justru merugikan mahasiswa yang jujur
dan ingin produktif. Waktu yang seharusnya bisa ia lakukan untuk mengerjakan
tugas atau proyek lain, misalnya, harus direlakan untuk menulis tangan.
Bagaimana ini, merugikan banyak pihak?
Jika mau belajar
dari negeri lain, tugas menulis tangan adalah solusi yang sudah obsolete. Sudah
kedaluarsa. Sebab saat ini sudah ada piranti lunak untuk menghindari terjadinya
kasus plagiarisme di dunia akademik. Salah satu contohnya adalah turnitin.com.
Universitas di Britania Raya dan Amerika Serikat sudah menggunakan situs ini
untuk pengecek plagiarisme. Cara kerja situs pengecek plagiat gratis ini adalah
dengan membandingkan pekerjaan mahasiswa dengan milyaran situs internet, dan
jutaan makalah yang pernah diunggah ke situs tersebut sebelumnya. Jika
ditemukan 5 kata berturut-turut yang sama, maka situs ini akan memberitahukan
indikasi plagiarisme. Situs ini juga menawarkan sistem peer-review yang memungkinkan tugas seorang
mahasiswa dibaca dan dinilai oleh tenaga akademik lain.
Tentunya sistem peer-review membutuhkan dukungan dari
seluruh kalangan akademisi. Sebab jika atmosfer anti-plagiarisme tidak kuat,
maka akademisi akan malas juga untuk mengoreksi tulisan mahasiswa tersebut. Di
sini dibutuhkan sinergi antara pengoreksi dengan sistem algoritma yang dibuat.
Jika yang disebutkan tadi hanya mencakup plagiarisme
di dunia akademisi, bagaimana dengan di ranah seni ? Atau di dunia musik yang notabene sulit untuk
membuat algoritma pemrograman yang membandingkan musik? Ini menarik, sebab
nyatanya dari seluruh kasus plagiarisme yang ada di ranah apapun memiliki satu
akar penyebab utama.
Guru Besar
Matematika ITB Iwan Pranoto, menekankan pentingnya budaya bernalar bagi seluruh
penduduk Indonesia. Beliau mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang
cenderung kepada menghafal, bukan untuk memecahkan masalah (bernalar). Sistem
pendidikan kita juga terlalu mengedepankan nilai (grade) ketimbang
mutu (value). Sistem ujian kita yang lebih banyak menggunakan
pilihan ganda juga akar permasalahannya. Inilah yang menjadi salah satu akar
dari masalah plagiat, menurutnya. Dengan sistem pendidikan yang serba
menghafal, siswa akan cenderung takut jika dia tidak ingat apa yang telah
dipelajarinya. Karena sistem pendidikan kita mengedepankan nilai, maka siswa
akan takut dimarahi orang tua jika nilai ujiannya jelek. Parahnya sifat seperti
ini sudah dipupuk sejak masa TK, hingga SMA. Ketika TK, anak takut jika ia
tidak hafal warna pelangi, sehingga tidak berani berkreasi. Ketika SD, anak
tidak mengetahui jawaban suatu soal, namun karena pilihan ganda ia menjadi
santai dan tidak perlu berpikir keras. Ketika SMP, siswa takut tidak lulus UN
maka menyontek. Dan seterusnya. Jika sistem pendidikan tidak dibenahi supaya
mengajak murid untuk bernalar, maka jangan harap kasus plagiat dan akan sirna
di muka bumi ini.
Budaya menghafal dan
berorientasi pada nilai (grade) menyebabkan
siswa tidak mengetahui tujuan utama dari pendidikan yang sedang dienyamnya.
Budaya menghafal dan pilihan ganda yang instan juga membuat siswa begah dan
takut saat belajar di kelas. Yang paling parah, budaya menghafal (bukan budaya
bernalar) justru menyebabkan orang berpikir bahwa tujuan utama pendidikan
adalah untuk menghafal banyak hal. Bukan untuk
melatih berpikir supaya bisa menyelesaikan suatu permasalahan. Hal ini terulang
terus sejak kecil hingga dewasa. Inilah yang menyebabkan terjadinya
plagiarisme: tidak timbulnya rasa kasmaran antara siswa/mahasiswa dengan
sesuatu yang dipelajarinya, sehingga membuat siswa itu tidak mampu bernalar.
Implikasinya siswa tidak tahu dan malas mencari tahu tentang sesuatu yang
sedang dipelajarinya. Karena tidak tahu, malas bernalar, dan tidak ingin mencari
tahu, maka berujung pada plagiat.
Inilah yang menyebabkan terjadinya plagiat pada ranah
apapun. Karena seniman tidak bernalar dan tidak sanggup berimajinasi, maka ia
menyerah pada plagiarisme. Karena seorang jurnalis malas membuat tulisan, maka
ia menyerah pada plagiarisme. Karena seorang mahasiswa tidak kasmaran dengan
yang dipelajarinya, ia membuat karya tulis bodong. Jelas ini berbahaya.
Memang budaya bernalar ditumbuhkan sejak kecil, namun
bukan berarti budaya bernalar tidak bisa dilatih ketika dewasa. Salah satu
caranya adalah dengan mencintai apa yang dipelajari, fokus pada hal tersebut,
menggali lebih dalam, memecahkan masalah dengan cara tersendiri, dan terus
berdiskusi. Plagiarisme masih tetap ada seiring semakin banyaknya jumlah
manusia salah satu faktor plagiarisme baru merebak pada abad ke-18 karena
sebelumnya jumlah manusia di muka bumi ini yang sangat sedikit, maka
kemungkinan plagiat akan tetap terjadi.
Semula,
plagiarisme pada tulisan elektronik terjadi. Maka muncullah inovasi dengan
kembali menulis tangan. Namun karena tidak efektif memberantas plagiarisme dan
menulis tangan adalah membuang-buang waktu, muncullah inovasi dengan membuat
piranti lunak anti-plagiarisme. Kedepannya, pasti plagiator akan menemukan 1001
cara untuk melakukan plagiarisme. Maka dari itu apa pun akar dari plagiarisme
yang akan terjadi di masa depan, perlu diperangi. Plagiarisme akan tetap ada
karena perubahan dinamika sosial dan kemajuan teknologi. Dengan terhapusnya
plagiarisme saat ini, bukan berarti perlu bersantai dan berleha-leha. Perlu
terus dilakukan inovasi dan peperangan terhadap plagiarisme yang tiada henti.
B.
Faktor-Faktor
Penyebab Kemiripan Merek
kasus kemiripan merek pada produk makanan dan
minuman di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap merek masih
sangat lemah. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengenal adanya system
perlindungan terhadap merek yaitu sistem konstitutif, artinya adalah perlindungan
hak atas merek diberikan hanya berdasarkan adanya pendaftaran. Sistem ini
dikenal juga dengan istilah first to file system, yang artinya
perlindungan diberikan kepada siapa yang mendaftar lebih dulu. Pemohon
sesudahnya yang mengajukan merek yang sama atau mirip tidak akan mendapat
perlindungan hukum. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 telah mengatur ketentuan
merek sedemikian rupa, namun pada praktiknya sering timbul beberapa masalah
dalam pemeriksaan merek. Masalah yang paling sering terjadi adalah yang
berkaitan dengan persamaan merek. Pasal 6 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa
permohonan merek harus ditolak oleh Direktorat Jendral Hak atas Kekayaan
Intelektual (Dirjen HaKI) apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih
dulu untuk barang dan atau jasa sejenis. Pasal 6 ayat (1) huruf a sedimikian
jelas telah mengatur perlindungan hukum bagi pemegang hak atas merek namun
kenyataanya kemiripan dalam merek baik barang maupun saja masih terjadi hingga
saat ini. Menentukan ada tidaknya suatu persamaan dalam merek dapat dilakukan
melalui pendekatan teori. Berikut ini adalah beberapa teori mengenai persamaan
merek dan contoh-contoh merek yang dianggap sama dan tidak sama, yaitu :
1.
Persamaan Keseluruhan Elemen
Persamaan Keseluruhan Elemen adalah standar untuk
menentukan adanya persamaan, dalam hal ini merek yang diminta untuk didaftarkan
merupakan hasil karya atau reproduksi merek orang lain. Agar suatu merek dapat
disebut hasil karya atau reproduksi dari merek orang lain sehingga dapat
dikualifikasi mengandung persamaan secara keseluruhan harus memenuhi
syarat-syarat :
a. Terdapat
Persamaan Elemen Merek secara Keseluruhan. Bahwa dalam merek produk barang
maupun jasa yang sejenis maupun tidak sejenis terdapat kesamaan dalam
unsur-unsur atau elemen-elemen yang terdapat dalam merek secara keseluruhan
baik dari bentuk, bunyi, penempatan atau tata letak, huruf, angka dan gabungan
dari semua elemen-elemen tersebut.
b. Persamaan
Jenis atau Produksi dan Kelas Barang atau Jasa Bahwa barang yang diproduksi
memiliki kesamaan jenis dan cara memproduksi, contohnya : jenis kesamaan merek
jenis produk minuman dan kesamaan merek jenis produk makanan
c. Persamaan
Wilayah dan Segmen Perusahaan. Bahwa merek barang atau jasa yang dihasilkan
memiliki persamaan dalam wilayah atau letak geografis yang sama dan segemen
merek barang yang dihasilkan ditujukan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah
atau menengah ke atas. Contohnya: Kopi Toraja yang berasal dari daerah Toraja,
Brem Bali dari Bali, Batik Pekalongan dari Pekalongan, dan lain-lain.
d. Persamaan
Cara dan Perilaku Pemakaian, Bahwa adanya kesamaan cara dalam memproduksi merek
barang maupun jasa.
e. Persamaan
Cara Pemeliharaan. Adanya kesamaan dalam menjaga kualitas dan kuantitas sebuah
merek produk barang atau jasa.
f. Persamaan
Jalur Pemasaran. Bahwa dalam memasarkan merek barang atau jasa terdapat
kesamaan antara unsur-unsur dari suatu merek.
Syarat-syarat tersebut di atas bersifat kumulatif,
sehingga untuk menentukan adanya persamaan harus semuanya terpenuhi. Standar
penentuan berdasarkan ajaran ini dianggap terlalu kaku dan tidak dapat
melindungi kepentinagan pemilik merek khususnya untuk merek terkenal.
2.
Persamaan
pada pokoknya
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 Tahun 2001 Tentang Merek menyebutkan bahwa persamaan pada pokoknya
adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara
merek yang satu dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan
baik dalam bentuk (lukisan atau tulisan), cara penempatan (yaitu unsur-unsur
yang diatur sedemikian rupa sehingga timbul kesan sama dengan merek orang
lain), arti dan kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi dalam
ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.
Permasalahan yang timbul dalam pemeriksaan merek
adalah bagaimana menerapkan ketentuan mengenai barang dan /atau jasa sejenis
atau tidak sejenis. Dilihat dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 6 ayat (1)
huruf a untuk menentukan ada tidaknya suatu persamaan pada merek, selain
ditentukan oleh mereknya sendiri, juga ditentukan oleh jenis barang dan atau
jasanya. Jika barang atau jasa yang hendak dilindungi oleh suatu merek yang
sama dengan merek orang lain berbeda, maka dianggap tidak terpenuhi syarat
persaman baik keseluruhan maupun pada pokoknya.
Suatu barang belum tentu dapat dikatakan sejenis
dengan barang tertentu lainnya meskipun berada dalam satu kelas yang sama,
demikian sebaliknya suatu barang bisa dikatakan sejenis dengan barang lainnya
walaupun berada pada kelas yang berbeda, karena keterkaitan yang sangat erat
antara kedua barang tersebut. Sejauh ini batasan mengenai merek terkenal hanya
berdasarkan kriteria penggolongan sebagai berikut:
a. Reputasi
merek tersebut tidak harus terbatas pada produk tertentu atau jenis produk,
memiliki kualitas stabil dari waktu ke waktu, dapat dipertahankan di berbagai
negara serta memiliki pendaftaran di beberapa negara.
b. Perlindungan
diberikan dalam hubungan pemakaian secara umum dan tidak hanya berhubungan
dengan jenis barang-barang dimana merek tersebut didaftarkan.
c. Faktor
pengetahuan masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang
bersangkutan yang dapat diketahui dari adanya promosi yang dilakukan dengan
gencar dan besar-besaran, adanya investasi di beberapa negara yang dilakukan
oleh pemiliknya, disertai dengan adanya bukti pendaftaran merek tersebut di
beberapa negara.
Permasalahan di atas mengenai persamaan merek dan
jenis barang serta kriteria merek terkenal sering menimbulkan masalah dalam
pemeriksaan merek, selain karena tidak adanya ketentuan yang memberikan pedoman
yang pasti pada pemeriksaan merek, juga karena sifatnya sangat subyektif
sehingga untuk menentukan arti yang sebenarnya dari persamaan pada pokoknya
dari suatu merek barang atau jasa bergantung pada penafsiran dan penilaian yang
berbeda dari masing-masing individu. Keadaan ini menyebabkan munculnya
putusan-putusan yang kurang konsisten mengenai kasus-kasus yang serupa.
Merek dapat berfungsi sebagai gambaran jaminan
kepribadian (individual) dan reputasi barang atau jasa hasil usahanya tersebut
sewaktu diperdagangkan. salah satu masalah yang sering di hadapi yaitu tentang
pemalsuan merek dan kemiripan dalam merek. Pemalsuan merek merupakan penggunaan
tanda yang berupa gambar, nama, kata-kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan
warna, atau kombinasi dari unsur-unsur yang memiliki kesamaan pada pokoknya dan
keseluruhannya yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa
sejenis dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
seolah-olah merek atau tanda itu sah. Kemiripan merek yaitu penggunaan tanda
yang berupa gambar, nama, kata-kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna,
atau kombinasi dari unsur-unsur yang memiliki kesamaan pada pokoknya dan keseluruhannya
yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa sejenis. Pemalsuan
merek dapat menimbulkan kerugian baik bagi pemilik merek terdaftar maupun bagi
masyarakat umum. Faktor-faktor yang menyebabkan suatu merek memiliki kemiripan
dengan produk lain yaitu :
1. Mengangkat
nilai jual suatu barang dengan meniru produk lain yang sejenis untuk
mendapatkan keuntungan yang besar.
2. Lemahnya
aturan mengenai merek dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang
Merek khususnya penafsiran terhadap pasal 6 ayat (1) sehingga memberikan
kesempatan kepada setiap orang atau badan usaha untuk meniru produk lain yang
sejenis.
3. Lemahnya
kesadaran untuk mendaftarkan merek hasil karya atau produksi.
4. Lemahnya
kesadaran hukum masyarakat untuk menghargai merek hasil karya orang lain.
Kemiripan antara merek satu dengan yang lain ini
bisa juga disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol dari masing-masing
merek yang diperbandingkan. Unsur-unsur yang menonjol itu apabila disimpulkan
dari bunyi pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
dapat terdiri dari :
1. Nama
2. Kata
3. Huruf-Huruf
4. Angka-Angka
5. Susunan
Warna
6. Kombinasi
Dari Unsur-unsur tersebut.
Kemiripan antara merek yang satu dengan merek lain
muncul karenamasing-masing unsur yaitu, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,
susunan warna atau kombinasi dari semua unsur itu ada yang menonjol. Sejauh
mana unsur-unsur tersebut dikatakan menonjol, penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek hanya menyebutkan sampai
unsur-unsur itu menimbulkan kesan adanya persamaan pada :
1. Bentuk
2. Cara
penempatan
3. Cara
penulisan atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut
4. Bunyi
ucapan
Persamaan Bentuk (Similarity of Appearance),
hal yang menjadi pertimbangan utama persamaan pada pokoknya terletak pada kesan
penglihatan (Visual imprresion) secara keseluruhan dari masing-masing
bentuk merek. Persamaan bentuk ini tidak mempersoalkan persamaan atau perbedaan
masing-masing unsurnya, cukup dapat dikatakan terdapat persamaan pada pokoknya
bila konsumen mendapat kesan bahwa suatu merek yang palsu secara penglihatan
terkesan seperti aslinya. Kesan penglihatan ini muncul dengan cara mengamati
keseluruhan unsur tanpa membedakan variasi unsurnya.
Persamaan pada merek bisa juga disimpulkan dari adanya
persamaan bunyi pada merek-merek yang diperbandingkan, terutama pada
merek-merek yang mengandalkan kekuatan bunyi kata. Dalam persamaan bunyi ini
pelafalan atau cara pengucapan (pronounciation) merek yang benar
bukanlah faktor yang menentukan. Pelafalan atau pengucapan yang tidak benar
bisa juga menyebabkan adanya persamaan bunyi merek.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
kemiripan atau kesamaan merek dalam suatu produk muncul karena adanya persamaan
dalam bentuk, makna, serta bunyi dari merek-merek yang diperbandingkan. Bentuk
ini terdiri dari bentuk kata, nama, huruf, angka, warna atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut.
C. Apakah Sengketa Merek Dapat di Ajukan
ke Perdailan Tata Usaha Negara Dalam Upaya Terhadap Penolakan Pendaftaran Merek
?
Keputusan Banding Merek adalah bersifat final.
Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 menghendaki masalah permintaan pendaftaran
merek selesai sampai dikeluarkannya keputusan dari Komisi Banding Merek. Pihak
yang ditolak permintaan bandingnya harus di anggap menerima keputusan meskipun
ia merasa tidak puas dengan keputusan itu.
Meskipun demikian Komisi Banding Merek adalah Badan
Tata Usaha Negara karena itu keputusan Komisi Banding Merek masih di mungkinkan
untuk digugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
Lalu keputusan yang bagaimanakah yang dapat digugat
melalui PTUN itu? Dalam Undag-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara terutama pasal 53 ayat (2) telah menentukan Keputusan Tata Usaha
Negara yang dapat digugat, untuk dinyatkan batal atau tidak sah, dengan
alasan-alasan sebagagi berikut :
-
Keputusan Tata Usaha Negara itu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dalam ayat (1) telah mengguanakan
wewenangnya untuk tujan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
-
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana yang
dimasud dalam ayat (1), setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang
tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau
tidak mengambil keputusan tersebut.
Setelah mengetahui alasan-alasannya maka untuk dapat
menggugat keputusan Komisi Banding Merek ke Peradilan Tata Usaha Negara harus
memenuhi salah satu alasan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No. 5 tahun 1986 di
atas.
Jadi kesimpulannya pihak yang merasa dirugikan masih
dapat mengugat keputusan Komisi Banding Merek ke Peradilan Tata Usaha Negara
jika ada alasan untuk itu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Plagiarisme
akan tetap ada karena perubahan dinamika sosial dan kemajuan teknologi.
2. Faktor-faktor
penyebab kemiripan merek adalah sebagai berikut :
·
Mengangkat nilai jual suatu barang
dengan meniru produk lain yang sejenis untuk mendapatkan keuntungan yang besar.
·
Lemahnya aturan mengenai merek dalam hal
ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek khususnya penafsiran
terhadap pasal 6 ayat (1) sehingga memberikan kesempatan kepada setiap orang
atau badan usaha untuk meniru produk lain yang sejenis.
·
Lemahnya kesadaran untuk mendaftarkan
merek hasil karya atau produksi.
·
Lemahnya kesadaran hukum masyarakat
untuk menghargai merek hasil karya orang lain.
3. pihak
yang merasa dirugikan masih dapat mengugat keputusan Komisi Banding Merek ke
Peradilan Tata Usaha Negara jika ada alasannya sesuai dengan Pasal 53 ayat (2)
Undang-undang No. 5 tahun 1986.
B. Saran
Sebagai mahasiswa hendaknya menambah wawasan dan
menyebarkan informasi tentang pentingnya perlindungan HAKI khususnya pada
bidang Merek.
DAFTAR
PUSTAKA
Budi
Agus Riswandi dan M. Syamsudin. 2005. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Sudargo
Gautama. 1995. Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual. PT.Eresco:
Bandung.
Agung
Sudjatmiko. 2000. Perlindungan Hukum Hak Atas Merek. Yuridika, Vol. 15
No. 5 September-Agustus: Jakarta.
S.
Kayatmo, 1999, Hakekat dan Manfaat Perlindungan Hak Merek Prosedur
Pendaftaran dan Perolehan Haknya. Jakarta.
http://tofaninoff.wordpress.com/2013/04/30/menghapus-plagiarisme-peperangan-tiada-henti/ di akses tanggal 11
Mei 2013.
Undang-Undang
No. 15 tahun 2001 Tentang Merek.