BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut ilmu hukum, hukum mencerminkan
masyarakat. Hanya hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang mencerminkan system
kekeluargaan dalam masyarakat. Menurut ilmu antropologi budaya system
kekekuargaan dalam masyarakat dapat didasarkan atas sistem keturunan yang
unilateral dan yang bilateral. Sistem keturunan yang unilateral ialah setiap
orang dalam masyarakat menarik garis keturunan ke atas hanya melalui penghubung
lelaki saja sampai kepada seorang lelaki sebagai leluhur mereka. Sistem
kekeluagaan ini disebut sistem kekeluargaan unilateral patreleneal. Selanjutnya
ada kekeluargaan yang anggautanya menarik garis keturunan ke atas hanya melalui
penghubung perempuan saja sampai kepada seorang perempuan sebagai leluhur mereka.
Sistem kekeluagaan ini disebut sistem kekeluargaan unilateral matreleneal. Di
samping itu ada system kekeluargaan yang anggautanya menghubungkan dirinya baik
kepada garis bapak maupun garis ibu. Sistem kekeluagaan ini disebut sstem
kekeluargaan bilateral atau parelental.
Masyarakat Arab pra Islam menganut system masyarakat
berdasarkan kekeluargaan unilateral patreleneal murni. Masyarakat tersebut
terdiri dari suku-suku yang anggautanya terdiri dari orang yang menarik garis
keturunannya ke atas hanya melalui penghubung lelaki saja sampai kepada seorang
lelaki sebagai leluhur mereka dan mereka disebut „ashabah. Kini masyarakat
Islam di Negara-negara di Timur Tengah, Mesir, Tunisia, Marokko, Yordania,
Suriah, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Irak menganut system masyarakat
berdasarkan kekeluargaan unilateral patreleneal. Demikian halnya dengan
masyarakat Islam di Pakistan dan India menganut system masyarakat berdasarkan
kekeluargaan unilateral patreleneal juga. Sementara itu masyarakat Islam di
Negara Republik Iran, menganut system masyarakat berdasarkan kekeluargaan
bilateral.
B.
Rumusan Masalah
1) Bagaimanakah
kedudukan perempuan dalam hukum waris islam di Saudi Arabia dan di Indonesia
saat ini?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penyusunan
makalah ini adalah untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam hukum waris islam
di Saudi Arabia dan di Indonesia saat ini.
D.
Manfaat
1) Bagi
mahasiswa, makalah ini dapat mengembangkan pengetahuan di dalam ilmu hukum
khususnya hukum waris islam.
2) Bagi
masyarakat, memberikan masukan sekaligus dapat menambah wawasan tentang
kedudukan perempuan dalam hukum waris islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Hukum Waris Islam di Saudi Arabia
Masyarakat Arab pra Islam yang berdasarkan kekeluargaan unilateral
patreleneal terdiri dari masyarakat nomaden dan masyarakat yang menetap di kota
Mekkah dan Madinah. Kota Mekkah merupakan kota metropolitan yang merupakan
pusat perdagangan. Sedang kota Madinah, penduduknya mayoritas mata pencaharian
mereka sebagai petani. Oleh karena itu Hukum kewarisan adat Arab pra Islam,
hukum kewarisan berdasarkan system kekeluargaan unilateral patereleneal. Maka
mereka tidak memasukkan orang-orang perempuan sebagai ahli waris. Bahkan
anak-anak kecil, laki-laki maupun perempuan, tidak dimasukkan sebagai ahli
waris, sebab mereka lemah, tidak dapat melindungi suku. Sementara itu
masyarakat Arab yang bermukim wilayak kekuasaan Romawi, dikuasai oleh hukum
kewarisan Romawi yang membagi ahli waris menjadi tiga kelompok, kelompok pertama
terdiri dari keturunan pewaris, kelompok kedua terdiri orang-orang yang
menurunkan pewaris, dan kelompok ketiga terdiri dari orang-orang yang memiliki
hubungan darah menyamping. Kelompok pertama terdiri dari anak-anak laki-laki
maupun perempuan serta keturunan mereka. Kelompok kedua terdiri dari orang tua,
kakek nenek dan setrusnya ke atas. Kelompok ketiga terdiri dari
saudara-saudara, paman, bibi, terus kesamping. Kelompok pertama menjadi ahli
waris utama. Kelompok kedua menjadi ahli waris, kalau kelompok pertama tidak
ada. Kelompok ketiga menjadi ahli waris, kalau kelompok pertama dsn kedua tidak
ada. Apabila salah seorang ahli waris meninggal lebih dahulu, maka kedudukannya
digantikan keturunannya. Hukum kewarisan Romawi terdiri hukum kewarisan testamenter
dan intestamenter, Sementara itu hukum kewarisan Yunani, pertama-tama
menentukan yang berhak menjadi ahli waris ialah anak laki-laki tertua, tetapi
kemudian ketentuan ini diperbaharui oleh ahli hukum Solon menjadi ahli waris
terdiri anak laki-laki saja, tertua dan selainnya. Sementara itu sebagian
penduduk kota Mekkah, mulai terpengaruh hukum kewarisan Romawi tersebut, yaitu
menjadikan anak perempuan sebagai ahli waris.
Syari‟at
Islam merubah hukum kewarisan adat Arab tersebut secara bertahap sebagai
berikut :
1) Membiarkan
hukum kewarisan adat Arab tetap berlaku bagi orang-orang Islam yang telah
memeluk Islam.
2) Menetapkan
kewarisan berdasarkan hijrah.
3) Menghapus
kewarisan berdasarkan pengangkatan anak, tetapi membiarkan tetap berlakunya
kewarisan baerdasarkan perjanjian.
4) Memerintahkan
mereka agar berwasiat untuk menentukan bagian kedua orang tua dan sanak
keluarga mereka, dari harta peninggalan mereka. (Al-Baqarah : 180 – 182)
5) Menghapus
kewarisan berdasarkan pengangkatan anak (Al-Ahzab : 5)
6) Menghapus
kewarisan berdasar hijrah dan perjanjian dan menetapkan kewarisan berdasarkan
hubungan darah).
7) Menetapkan
bahwa kewarisan berdasarkan hubungan kekerabatan, baik menurut garis laki-laki
maupun perempuan.
8) Menetapkan
bahwa kewarisan dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan Allah dan berdasarkan
kehendak pewaris dalam wasiatnya
Bahan
dasar hukum kewarisan Islam ialah antara lain :
1) Kewarisan
berdasarkan wasiat : Surah Baqarah 180-182, Surah Al-Baqarah 240, Surah
An-Nisa‟ : 11- 12, dan surah Al-Maidah : 106.
2) Kewarisan
berdasarkan nash : An-Nisa‟ ayat 7, 11, 12, 33, dan 176.
Ada dua
paradigma yang dapat menjadi dasar untuk mengolah ayat-ayat kewarisan tersebut
di atas. Paradigma pertama yaitu bahwa hukum kewarisan adat Arab, tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ayat-ayat tersebut di atas. Paradigma ini
dipergunakan oleh aliran sunni untuk menyusun ilmu faraidl ajaran mereka.
Paradigma kedua yaitu bahwa dengan turunnya ayat-ayat tersebut, maka system
kekeluargaan unilateral patreleneal dan hukum kewarisan turunannya tidak
berlaku lagi dan yang berlaku ialah system kekeluargaan dan kewarisan
bilateral. Paradigma ini dipergunakan oleh golongan syi‟ah untuk menyusun fikih
kewarisan mereka.
Ilmu faraidl sunni membagi ahli waris mejadi tiga golongan :
1) Dzawul
furudl, yaitu ahli waris yang bagiannya dari warisan telah ditetapkan oleh
al-Quran, dengan pasti.
2) Ashabah,
yaitu semua kerabat pewaris, baik keturunan mereka, maupun asal usul mereka
menurut garis bapak. Ashabah dibagi menjadi tiga golongan :
a. ‘Ashabah
binafsihi ialah tiap-tiap kerabat lelaki yang tidak diselingi dalam hubungannya
kepada yang meninggal oleh seorang perempuan, tetapi oleh seorang lelaki,
seperti saudara lelaki sebapak dan anaknya, paman sebapak dan anaknya. Yang
termasuk golongan ini hanya laki-laki saja. Mereka ini antara lain anak
laki-laki, cucu laki-laki dalam garis patreleneal terus ke bawah, bapak, dan
datuk dari pihak bapak dalam garis patreleneal terus ke atas.
b. ‘Ashabah
bighairihi ialah ‟ashabah dengan sebab orang lain, seperti anak perempuan
menjadi „ashabah karena bersama anak laki-laki.
c. ‘Ashabah
ma‟a ghairihi, ialah „ashabah bersama-sama dengan orang lain.
3) Dzawul
arham ialah anggauta keluarga yang termasuk dzawul furudl dan juga tidak
termasuk „ashabah, yaitu anggauta keluarga perempuan di garis bapak, dan
anggauta keluarga di garis ibu, lelaki maupun perempuan. Maka anak laki-laki
maupun perempuan serta keturunan mereka termasuk dzawul arham.
Menurut
golongan sunni :
1) keluarga
dekat didahulukan daripada keluarga jauh, kecuali orang tua
2) Dzawul
arham mewaris, kalau dzawul furudl dan/atau „ashabah tidak ada, kecuali suami
atau isteri
3) Pembagian
warisan di lingkungan dzawul arham, berlaku doktrin tanzil, yaitu
masing-masing dzul arham ditempatkan pada tempat asalnya, tempat ahli waris
yang digantikannya
Menurut golongan Syi‟ah yang menggunakan paradigma kedua
bahwa ahli waris dikelompokkan menjadi dua kelompok :
1) Dzawul
furudl yaitu sanak keluarga pewaris yang bagian warisannya telah ditentukan
dengan pasti dalam al-Quran.
2)
Dzawul qarabat, yaitu semua sanak keluarga,
laki-laki dan perempuan yang tidak termasuk dzawul faraidl, baik menurut garis
bapak maupun ibu. Dalam hal dzawul qarabat yang orang tuanya meninggal lebih
dahulu daripada pewaris, maka x golongan syi‟ah menggunakan doktrin waris
pengganti (reprentasi). Maka cucu dari anak perempuan mendapatkan bagian
ibunya.
Pada
pertengahan abad ke-20 perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama
teknologi informasi dan kominikasi berlangsung dengan sangat cepat. Hal ini
mengakibatkan terjadinya perubahan masyarakat juga terjadi dengan cepat.
Perubahan masyarakat yang terjadi di suatu tempat, dengan cepat menjalar ke
masyarakat di tempat lain. Perubahan system masyarakat berdasarkan system
kekeluargaan bilateral mulai mempengaruhi system kekeluargaan masyarakat Islam.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa ini merangsang timbulnya gerakan-gerakan
yang menuntut pembaharuan-pembaharuan kembali kepada al-Quran serta Sunnah,
dibukanya kembali pintu ijtihad, dan ditinggalkan doktrin taqlid. Sementara itu
kaum perempuan mendapatkan pendidikan serta bekerja di luar rumah tangga, maka
terjadi perubahan kedudukan mereka di bidang social, budaya, politik, ekonomi
dan lain-lain. Faktor-faktor ini merangsang tuntutan masyarakat untuk adanya
perubahan hukum, termasuk hukum keluarga Islam, yang berlaku.
Pada
pertengahan abad ke-20 tersebut masyarakat Islam mulai bangun kembali dan mulai
mencoba mempelajari secara ilmiah dasar-dasar hukum Islam bagi masyarakat
modern. Ilmiah yang dimaksud terutama ilmu antropologi social yang baru lahir
pada abad ke-19 dan memberikan pengertian yang dalam kepada soal-soal hukum
untuk membukakan jalan bagi penelitian lebih lanjut tentang suatu persoalan
hukum. Sementara itu pandangan-pandangan hukum ulama Islam sebagaimana
diuraikan di muka, mulai terbuka dan cair. Maka Negara-negara Islam di di Timur
Tengan dan Timur jauh, mulai memperbaharui hukum keluarga Islam termasuk hukum
kewarisan Islam, melalui undang-undang atau kodifikasi dan yurisprudensi.
seiring dengan perubahan kedudukan perempuan dalam
masyarakat. Metoda untuk memperbaharui
hukum keluarga Islam tersebut antara lain :
1) Takhshish,
membatasi kewenangan hakim.
2) Takhayyur,
memilih diantara pendapat-pendapat dalam satu mazhab yang dominan, atau
daiantara mazhab empat, bahkan di luar mazhab sunni.
3) Menafsir
kembali ayat-ayat al-AlQuran dan Hadits.
4) Siyasah
Syar‟iyyah, menetapkan hukum berdasarkan maslahat atau manfaat.
5) Putusan
hakim.
Masyarakat Islam Timur Tengah dan sekitarnya merupakan
masyarakat berdasarkan kekeluargaan patreleneal dan beraliran sunni. Maka hukum
kewarisan yang berlaku di masyarakat, hukum kewarisan yang bersifat unilateral
patreleneal. Orang-orang perempuan yang tidak termasuk dzawul furudl tidak
mendapatkan bagian dari harta warisan. cucu perempuan dari anak perempuan serta
keturunan mereka tidak berhak mendapatkan harta warisan. Maka masyarakat Islam
di kawasan tersebut, menuntut pembaharuan hukum kewarisan yang berlaku
tersebut. Oleh karena itu Negara-negara Islam di kawasan tersebut melakukan
pembaharuan hukum kewarisan tersebut dengan metoda pembaharuan hukum Islam, di
muka. Negara-negara tersebut antara lain :
1) Menurut
Undang-undang Mesir Nomor 77 Tahun 1943, cucu dari anak perempuan yang
meninggal lebih dahulu dari pewaris terhijab oleh saudara ibunya, karena aliran
sunni yang menjadi mazhab mayoritas penduduk Mesir, tidak mengakui doktrin
representasi, atau waris pengganti. Perkembangan selanjutnya , hukum kewarisan
Mesir, menjamin cucu tersebut, mendapatkan bagian warisan melalui ketentuan
dalam Undang-undang Wasiat Nomor 71 Tahun 1948 (sesuai dengan artikel 76 sampai
79). Menurut ketentuan undang-undang wasiat tersebut, seorang pewaris
diwajibkan meninggalkan wasiat bagi cucu-cunya, melalui anak-anaknya yang
meninggal lebih dahulu yang jumlahnya tidak lebih dari sepertiga dari harta
peninggalannya, bagi cucu-cucunya. Apabila pewaris tidak meninggalkan wasiat
tersebut, maka hakim menganggap wasiat tersebut telah dilakukannya dan
membagikannya kepada cucu-cucu tersebut. Fiksi hukum ini terkenal dengan
sebutan washiat wajibah.
2) Undang-undang
Tunisia Tahun 1953, mengadopsi fiksi washiyah wajibah dari undang-undang
washiat Mesir tersebut dengan sedikit perubaha.
3) Marokko
pada tahun 1958 juga menerapkan doktrin fiksi washiayah wajibah undang-ung
kewarisan Mesir tersebut dalam kofikasi hukum keluarganya. Kemudian dokrin ini
juga diikuti kodifikasi hukum keluaga Siria.
4) Pakistan
terakhir menerapkan doktrin reprentasi atau waris pengganti dalam hukum
kewarisannya.
Dengan ringkas dapat dinyatakan, peraturan perundang-udangan
tentang kewarisan Islam di Negara-negara kawasan Timur Tengah, telah memperbaharui
kedudukan perempuan dalam hukum kewarisan tersebut, antara lain dengan
memberikan warisan kepada cucu dari anak perempuan yang meninggal lebih dahulu,
melalui doktrin fiksi washiyah wajibah dan waris pengganti.
B.
Perubahan
Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Waris Islam di Indonesia Pada Abad 20
Sebagaimana
di dalam masyarakat Islam di Timur Tengah tersebut, pada pertengahan abad
ke-20, di dalam masyakat Islam Indonesia juga terjadi perubahan, termasuk
perubahan kedudukan perempuan di bidang politik, ekonomi, social dan hukum.
Maka terjadilah gelombang tuntutan pembaharuan kedudukan perempuan dalam hukum
perkawinan Islam yang berasal dari ajaran mazhab Syafi‟I dan tidak sejalan
dengan perubahan kedudukan perempuan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
memperbahrui hukum perkawinan tersebut dengan menggunakan metoda-metoda
pembaharuan hukum perkawinan oleh Negara-negara Islam sebagaimana dijelaskan di
muka. Sementara itu hukum kewarisan Islam menurut mazhab syafi‟I yang bersifat
unilateral patreleneal, tidak berlaku secara eketif, karena bertentangan dengan
hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Islam Indonesia sebagian masyarakatnya
berdasarkan kekeluargaan matreleneal, dan sebagian yang lain berdasarkan
kekeluargaan bilateral. Maka untuk mengefektifkan berlakunya hukum kewarisan
Islam, yang dicita-citakan menjadi kewenagan Pengadilan Agama, perlu
pembaharuan hukum kewarisan Islam Indonesia, Gelombang pembaharuan hukum
kewarisam tersebut, membesar, setelah Menteri Agama Prof.Dr Munawir Syadzali
melempari masyarakat Islam dengan issue pembagian warisan yang sama antara
perempuan dengan laki-laki. Kewarisan Islam ajaran tersebut menjadi ganjalan
bagi usaha untuk memasukkan penyelsaian sengketa kewarisan antara orang-orang
Islam, menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Sebagian anggauta DPR dan
pakar hukum, mempertanyakan masalah bagian warisna ahli waris non muslim dari
harta peninggalan pewaris, kedudukan anakangkat, kedudukan cucu-cucu dari anak
perempuan, dan bagian anak laki-laki dan anak-anak perempuan. Maka Mahkamah
Agung dan Departemen Agama dalam usaha memperbaharui hukum keluarga Islam,
hukum perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, shadaqah, dan wakaf, yang akan
menjadi hukum terapan pengadilan Agama, dalam bentuk Kompilasi, melemparkan
issue-issue tersebut di tengah-tengah ormas-ormas Islam, perguruan-perguruan
tinggi Islam dan jajaran Pengadilan Agama, untuk dibahas. Kemudian disusunlah
draft KHI dari hasil-hasil bahasan terbut, yurisprudensi Pengadilan Agama, dan
peraturaturan perundang-undangan tentang perkawinan dan wakaf. Kemudian draft
tersebut diseminarkan dalam seminar nasional yang dihadiri oleh ormas-ormas
Islam, para ulama, cendikiawan muslim dan ketua-ketua Pengadilan Tinggi Agama
seluruh Indonesia. Hasil seminar tersebut dalam KHI yang sekarang berlaku.
Paradigma yang digunakan dalam membahas masalah-masalah
tersebut ialah :
1)
“Hukmul hakim yarfa‟ul
hilaf” .
2)
“Fainnal amri idza
amara „alal qadli „adamal hukmi fi amrin makh shushin uttubi‟a”.
3)
“Ikhtatha fl budl-I ma
la yukhtathu yukhtathu fi ghairihi”.
Mengenai
issue kedudukan “anak angkat”, para ulama baik yang tergabung dalam Ormas Islam
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyyah seta ormas-ormas Islam lainnya, melalui
pembahasan dalam bahtsul masail, serta seminar-seminar ulama, para cendikiawan
dalam seminar ilmiah, rapat-rapat jajaran peradilan Agama, mereka semuanya
sepakat bahwa anak angkat bukan ahli waris, tetapi mendapat bagian dari harta
peninggalan, sebagaimana dinyatakan kalimat kedua dari surat An-Nisa‟ ayat 33
yang menyatakan sebagai berikut :
“…………..Walladzina
„aqadat aimanukumfa atuhum nasibuhum, inna Allaha „ala kulli saiin sayahida.”
Kemudian
seminar KHI memutuskan digunakannya doktrin fiksi hukum washiyah wajibah,
yang besarnya tidak lebih dari sepertiga. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibnul
Musayyab dalam mengomentari kalimat dalam ayat 33 surat an-Nisa‟ tersebut.
Beliau menyatakan bahwa ayat tersebut turun di tengah masyarakat Arab yang
memberlakukan ketentua bahwa anak angkat mendapat warisan dari orang tua
angkatnya. Ayat tersebut membatalkan ketentuan hokum adat arab tersebut, tetapi
orang tua angkatnya harus meninggalkan wasiat bagi anak-anak angkat mereka.
Para
ulama dan cendikiawan muslim Indonsia sepakat bahwa semua kerabat pewaris baik
melalui garis laki-laki maupun garis perempuan merupakan ahli waris pewarisnya,
sesuai dengan ketentuan surah An-Nisa‟ ayat 7. Maka cucu dari anak perempuan
atau anak laki-laki yang ibunya atau bapaknya meninggal dahulu dari pada
neneknya mendapat bagian warisan dari neneknya, meskipun saudara ibunya atau
bapaknya masih hidup. Hanya mereka berbeda pendapat dasar pemberian bagian
tersebut. Ada tiga aliran :
1)
Ulama aliran salafiyyah,
berpendapat bahwa dasar pemberian bagian warisan bagi cucu dari anak perempuan
yang ibunya meninggal lebih dahulu ialah metoda tanzil yang diperluas yaitu
memberikan kedudukan cucu tersebut, dengan kedudukan ibunya dalam kewarisan.
Sebenarnya metoda tanzil oleh aliran sunni hanya diterapkan pembagian warisan
antara zawul arham. M.Arsyad Lubis menyatakan :
“ Tanzil maksudnya menempatkan
dzawul arham pada tempat waris yang mula-mula menghubungkan dia dengan mayat.
Ia akan menerima pusaka sebanyak pendapatan yang diterima waris itu. Misalnya
cucu perempuan dari anak perempuan adalah dzawul arham.Waris yang mula-mula
menghubungkan dia dengan mayat ialah anak perempuan. Maka cucu perempuan itu
ditempatkan pada anak perempuan dan akan menerima pusaka sebanyak pendapatan
anak perempuan.”
Khusus cucu dari
anak laki-laki yang bapaknya meninggal lebih dahulu dari pewaris, mereka
menggunakan doktrin waris pengganti dari zaid bin Stabit dalam hadist mauqufnya
yang diriwayatkan Imam Bukhari dan garis-garis hukumnya ialah sebagai berikut :
a.
Cucu laki-laki dari anak
laki-laki berkedudukan sederajat dengan anak laki-laki, sebab cucu laki-laki
tersebut dapat mengganti kedudukan ayahnya yang sudah meninggal lebih dahulu
daripada pewaris.
b.
Anak perempuan dari anak
laki-laki, berkedudukan sederajat dengan anak perempuan, karena cucu perempuan
tersebut dapat menggantikan kedudukan ayahnya yang sudah meninggal lebih dahulu
daripada pewqris, asalkan pewaris juga tidak meninggalkan anak laki-laki maupun
perempuan atau hanya anak perempuan saja dari pewaris;
c.
Apabila pewaris meninggalkan
seorang anak perempuan, dan seorang anak laki-laki dari anak laki-laki, maka
bagian cucu kai-laki tersebut tidak dua kali anak perempuan, akan tetapi cucu
laki-laki dari anak laki tersebut mendapatkan sisanya saja.
d.
Cucu laki-laki dan cucu
perempuan dari anak perempuan, tidak berhak menduduki kedudukan anak laki-laki
atau perempuan dengan menggantikan kedudukan ibu atau ayahnya, karena keduanya
tergolong dzawul arham.
Gagasan
tersebut di lontarkan oleh antara lain K.H.Abdul Halim,SH., dekan Fakultas
Hukum Universitas Jember dan K.H.Aziz Masyhuri dari Pondok Pesanten Den Anyar
Jombang.
2)
Para sarjana hukum yang
dalam seminar KHI dipelopori oleh alm.KH.Khalid SH dan Yahya Harahap SH,
keduanya menjabat hakim Agung, berpendirian bahwa anak-anak dari anak perempuan
pewaris merupakan waris pengganti mawali dari ibunya, sesuai
dengan ajaran kewarisan bilateral drai Prof.DR. Hazairin yang sejajar dengan
ajaran kewarisan aliran Syi‟ah. Menurut beliau ayat 7 surah Annisa‟ telah
menghapus system kewarisan hukum adat Arab pra Islam yang bersifat unilateral
patreleneal. Maka cucu-cucu keturunan anak perempuan atau anak laki-laki,
menduduki ibunya atau bapaknya yang meninggal lebih dahulu, sewbagai waris
pengganti sebagaimana dimaksud oleh ayat 33 Surat An-Nisa‟.
3)
Para cendikiawan dan ulama
yang tidak termasuk golongan kesatu dan kedua tersebut menafsir ulang ayat 33
surat An-Nisa‟. Alur berfikir mereka ialah sebagai bereikut :
a.
Di belakang kata “walikullin” ada kata
mudlaf ilaih yang dibuang serta digantikan dengan tanwin.kata-kata yang dibuang
tersebut, kemungkinan berupa kata “muristin”, atau kata “malin”
atau kata “waristin” atau “nasin”. Kelompok ketiga berpendapat
bahwa kata yang dibuang tersebut ialah “waritsin”, sesuai dengan system
kewarisan yang dipancang kan oleh ayat 7 surat an-Nisa‟ tersebut.
b.
Sedang kata mawali artinya “waratsah muwallun”
artinya ahli warits yang diberi kuasa menduduki kedudukan dari ahli waris yang
menurunkannya.
c.
Maka tafsir ayat 33 surah an-Nisa‟ tersebut
ialah : “walikulli waritsin waratsatun mualluna muakkalina au lahum aw
menazzalina manzilatahum………………….” .
Penafsiran
tersebut diperkuat oleh hadist diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dengan sanad
yang kuat bahwa Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas‟ud keduanya menempatkan bintul
binti, cucu dari anak perempuan, sama dengan binti dan bintul akh sama dengan
akh dan bintul ukhti sama dengan ukhti, kedudukan „ammah sama dengan ayah, dan
khalah menerima sama dengan ibu.
Akhirnya semua peserta seminar KHI sepakat bahwa keturunan
laki-laki atau perempuan yang bapaknya atau ibunya meniggal lebih dahulu
daripada pewaris, mendapatkan bagian warisan sebagai waris pengganti. Dasar
pendapat ini ialah ketiga argumentasi tersebut di atas ditambah bahwa
Undang-undang kewarisan Pakistan terakhir mengadopsi doktrin waris pengganti.
1)
Bagian anak laki-laki dua
kali anak perempuan, sebab ayat 11 surat Anisa‟ telah menetapkan bahwa “lidza-dzakari
mitslu hadhdhil untsayain” dan ini merupakan nash yang “qathiyyul wurud
waddalalah‟ .
2)
Bagian anak perempuan separo
bagian anak laki-laki, dapat dirubah, sebab ketentuan ayat 11 surat Ani-nisa‟
masih mungkin difahami bahwa bagian anak laki-laki dua kali bagian perempuan
dan ketentuan syariat merupakan batas (hudud) yang tidak boleh
dilanggar, menurut teori dari Zainuddin Sardar.
3)
Bagian anak laki-laki dua
kali lipat anak perempuan, ketentuannya dapat berubah, sebab menurut KH.Ammar
dan KH Jamaluddin, ketentuan tersebut dilator belakangi kodisi social
masyarakat Arab ketika turunnya ayat tersebut, sedang menurut ketentuan dasar
syariiat bahwa kedudukan perempuan setara dengan kedudukan laki-laaki, apabila
kondisi social berubah, maka ketentuan tersebut dapat berubah sesuai dengan
perubahan sosia, sesuai dengan kaidah “al-hukmu yaduru maal „illati wujudan
wa „adaman” .
4)
Mayoritas peserta seminar KHI mendukung
pendapat bahwa bagian laki-laki dalam kewarisan dua kali bagian perempuan,
sebab kalau ketentuan ini dirubah akan merubah subsistem hukum keluarga Islam,
tetapi mereka setju dicantumka klausul pada akhir KHI bahwa hakim dalam
mengadili harus memperhatikan perubahan social.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di
muka dapat disimpulkan bahwa di dunia Islam termasuk Indonesia kini, telah dilakukan
pembaharuan hukum Kewarisan Islam, seirama dengan perubahan social di era
modern. Perempuan telah mendapatkan perlakuan hukum yang setara dengan kaum
laik-laki. Khusus di Indonesia, pembaharuan hukum kewarisan Islam terletak di
putusan hakim Peradilan Agama.
B.
Saran
Di harapkan kepada mahasisiwa dapat
menyebarkan informasi yang terdapat dalam makalah ini kepada masyarakat yang
masih kurang pengetahuan dalam ilmu hukum khususnya Hukum islam. Sehingga tdak
ada lagi kebingungan dalam masyarakat menegenai kedudukan perempuan dalam hukum
islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar